Melanjutkan Tren Positif Hilirisasi Melalui Asta Cita
- Florence Lo/Pool Photo via AP
Jakarta, VIVA – Presiden Prabowo Subianto telah mencanangkan delapan misi yang menjadi sasaran pembangunan dalam lima tahun ke depan. Delapan misi atau Asta Cita tersebut diarahkan untuk memperkuat landasan menuju Indonesia Emas 2045.
Misi pembangunan yang dirumuskan Presiden Prabowo sebagian di antaranya merupakan kelanjutan dari program yang dijalankan presiden sebelumnya, Joko Widodo. Salah satunya yang penting adalah program hilirisasi sumber daya alam.
Program hilirisasi itu sendiri juga menjadi salah satu dari 17 program prioritas pemerintah hingga 2029. Dalam program dimaksud, ditegaskan bahwa kelanjutan program hilirisasi dan industrialisasi diarahkan tidak hanya sumber daya alam, tetapi juga sumber daya maritim. Selain untuk memberi nilai tambah secara maksimal, hilirisasi dan industrialisasi ditargetkan dapat membuka lapangan kerja lebih luas, sehingga terwujud keadilan ekonomi.Â
Sumber daya alam, khususnya pertambangan mineral dan batu bara (minerba), langkah hilirisasi merupakan hal strategis yang patut dilakukan pemerintah. Hal ini telah dirintis oleh Presiden Joko Widodo, dan kini dilanjutkan bahkan diakselerasi oleh Presiden Prabowo Subianto.
Untuk komoditas mineral, Indonesia memiliki posisi dominan di industri upstream (hulu) dari sisi kepemilikan cadangan. Komoditas tembaga, misalnya, Indonesia memiliki cadangan terbesar nomor 8 di dunia, dengan pangsa produksi 4,3%. Komoditas timah, cadangan yang dimiliki terbesar ke-2 di dunia dengan produksi 21%.
Komoditas nikel, Indonesia menjadi negara dengan cadangan terbesar di dunia, dan menguasai lebih dari separuh produksi nikel dunia, dengan pangsa 55%. Selanjutnya, untuk bauksit, cadangan Indonesia terbesar ke-6 dengan pangsa 3,4%. Adapun untuk komoditas kobalt, cadangan yang dimiliki terbesar nomor 3 di dunia dengan pangsa 8,4%.
Ke depan, permintaan dari masing-masing komoditas mineral tersebut diperkirakan akan meningkat, seiring dengan pertumbuhan ekonomi negara-negara di dunia. Peningkatan permintaan itu juga dipicu momentum transisi energi global, dari energi fosil ke sumber energi baru dan terbarukan, dalam rangka mewujudkan ekonomi yang ramah lingkungan (green economy). Komoditas mineral, di mana Indonesia memiliki posisi dominan di industri hulu, menjadi bahan baku utama baterai yang merupakan komponen utama kendaraan listrik.
Meningkatnya permintaan tersebut, kemungkinan berpotensi memicu defisit suplai pada komoditas mineral tertentu, lantaran suplai yang tidak memadai. Berdasarkan kajian, komoditas mineral yang diperkirakan akan mencatat neraca defisit (demand lebih besar dari supply) hingga lima tahun ke depan, adalah nikel, timah, dan bauksit.
Sebagai salah satu negara pemilik cadangan mineral terbesar di dunia, kondisi imbalance antara supply dan demand tersebut tentu sangat menguntungkan, karena dengan sendirinya harga komoditas berpotensi naik.
Manfaat Ekonomi Berlipat
Namun, pemerintah tidak akan berhenti dengan menikmati windfall profit dari kenaikan harga komoditas semata. Melalui hilirisasi dan industrialisasi, diharapkan manfaat ekonomi yang diterima bisa berkali lipat.
Hal itu bukan sekadar angan-angan. Hilirisasi mineral kita ketahui sudah dilakukan sejak pemerintahan Jokowi. Upaya yang dilakukan antara lain melarang ekspor bijih nikel (material mentah), dan mengakselerasi masuknya investasi industri hilir di Tanah Air, melalui pembangunan smelter dan insfrastruktur pengolahan lainnya.
Larangan ekspor bijih nikel yang diterapkan sejak 2020, terbukti membuahkan hasil. Berdasarkan data, ekspor nikel dan produk derivatifnya melonjak signifikan. Pada 2019, sebelum larangan ekspor bijih nikel, nilai ekspor yang didapat US$ 9,3 miliar. Pada 2022 atau pada tahun ketiga larangan ekspor bijih nikel, nilai ekspornya melonjak lebih 3 kali lipat menjadi US$ 33,8 miliar.
Sejalan dengan itu, pertumbuhan industri pertambangan nasional sejak diberlakukan larangan ekspor bijih nikel pada 2020 juga mencatat kenaikan dua kali lipat dalam satu dekade terakhir. Selama kurun 2012 hingga 2019, pertumbuhan industri pertambangan hanya di kisaran 0,4% hingga 2,5%, bahkan pada 2015 dan 2020 mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif), masing-masing 3,4% dan 1,9%.
Namun, sejak 2021 hingga 2023, industri pertambangan mencatat pertumbuhan, masing-masing 4%, 4,32%, dan 4,28%.
Tren positif hilirisasi komoditas mineral tersebut diproyeksi akan terus berlanjut. Hal itu tak lepas dari semakin siapnya industri pertambangan mineral, baik smelter maupun infrastruktur pengolahan lainnya.Â
Sebagai contoh, menjelang mengakhiri masa jabatannya, Presiden Jokowi pada Oktober lalu meresmikan tiga megaproyek smelter. Ketiganya adalah smelter milik PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) di Sumbawa Barat, NTB, smelter milik PT Freeport Indonesia di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE), Kabupaten Gresik Jatim, serta peresmian Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) milik PT Borneo Alumina Indonesia (BAI) di Kabupaten Mempawah, Kalbar.Â
Ketiga smelter yang diresmikan Presiden tersebut, satu di antaranya milik swasta yakni AMNT. Adapun dua smelter lainnya adalah milik anak perusahaan BUMN holding tambang MIND ID, masing-masing PT Freeport Indonesia, serta PT BAI yang merupakan proyek patungan PT Inalum dan PT Aneka Tambang.Â
Tiga smelter tersebut menelan investasi jumbo, mencapai total Rp 93 triliun. Perinciannya, smelter AMNT di Sumbawa Barat Rp 21 triliun, smelter Freeport senilai Rp 56 triliun, dan smelter BAI tahap pertama senilai Rp 16 triliun.
Dengan investasi sebesar itu, nilai tambah yang diperoleh dari hilirisasi akan mengalami lompatan besar. Selain manfaat dari meningkatnya nilai tambah, manfaat lain juga diperoleh dari penghematan devisa yang sebelumnya digunakan untuk mengimpor. Salah satunya kebutuhan aluminium yang rata-rata 1,2 juta ton per tahun, 56% di antaranya dipenuhi dari impor.
Dengan selesainya smelter bauksit SGAR yang menghasilkan aluminium, kebutuhan impor 56% bisa dipenuhi dari produksi aluminium dalam negeri. Diperkirakan akan ada penghematan devisa sekitar US$ 3,5 miliar atau lebih dari Rp 50 triliun.
Selain menuju industrialisasi, program hilirisasi juga akan mengubah struktur Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional. Selama ini, 56% PDB disumbang konsumsi domestik. Melalui hilirisasi dan industrialisasi, ekonomi nasional akan bertumpu pada kegiatan investasi dan produksi.
Tren positif tersebut, diharapkan akan membantu mewujudkan misi besar Presiden Prabowo Subianto melali Asta Cita. Program hilirisasi sumber daya alam ini selain memberi manfaat sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional, juga menjadi ikhtiar nyata mewujudkan ekonomi berkeadilan melalui pembukaan lapangan kerja yang lebih luas.Â