Pengusaha hingga Pedagang Nilai Kebijakan yang Rugikan Industri Rokok Harus Dikaji Ulang

Tembakau kering yang dilinting untuk menjadi rokok di pabrik.
Sumber :
  • VIVA/ Yeni Lestari.

Jakarta, VIVA – Pelaku usaha hingga pedagang mendesak agar wacana kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) harus dibatalkan. Hal ini mengingat besarnya dampak terhadap industri hasil tembakau serta ekosistem di dalamnya terhadap perekonomian regional maupun nasional.

Aturan Kemasan Rokok Polos Dinilai Tumpang Tindih dan Melawan UU Merek

Menurut Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur, Adik Dwi Putranto, proses perumusan wacana kebijakan seharusnya berbasis data dan melibatkan seluruh pihak terkait. Namun, nyatanya proses perumusan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) dan Rancangan Permenkes tidak memiliki kajian yang mendalam serta tidak melibatkan berbagai pemangku kepentingan yang terkait di sektor tembakau.

Menurutnya, kebijakan tersebut dapat merugikan banyak pihak, mulai dari petani, pekerja, hingga toko kelontong kecil yang bergantung pada penjualan rokok untuk menggerakkan usahanya. 

Praktisi Pemasaran Ungkap Dampak Buruk Kemasan Rokok Tanpa Merek

“Bagaimana nasib toko kelontong yang menjadi mata pencaharian utama pedagang kecil jika aturan ini disahkan? Bisa terdampak serius jika kebijakan ini disahkan,” ujar Adik dikutip dalam keterangan tertulis, Kamis, 7 November 2024.

Ilustrasi usia merokok minimal 18 tahun ke atas.

Photo :
Alasan Pakta Konsumen Protes Rencana Kebijakan Kemasan Rokok Tanpa Merek

Menurutnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berupaya menekan industri hasil tembakau secara serampangan melalui berbagai kebijakan tanpa adanya kajian solid. Belum selesai dengan PP 28/2024, muncul lagi rencana kemasan rokok tanpa identitas merek pada Rancangan Permenkes. Padahal, selama ini pihaknya kerap memberikan pelatihan tentang pentingnya branding bagi pelaku usaha.

“Karena brand bukan sekadar identitas, tetapi juga alat untuk mencegah pemalsuan. Tanpa identitas merek yang jelas, potensi pemalsuan produk meningkat dan mendorong peredaran rokok ilegal, yang justru akan merugikan pemerintah dan masyarakat,” bebernya.

Wilayah Jawa Timur sendiri, lanjut Adik, sangat bergantung pada kontribusi industri hasil tembakau. Berdasarkan data, pendapatan daerah dari pajak rokok mencapai Rp 19,6 triliun, dengan kontribusi dari industri tembakau sekitar Rp 12 triliun. Di Jatim, tingkat penyerapan tenaga kerja untuk penyandang disabilitas pada industri hasil tembakau mencapai 4 persen, jauh di atas ketentuan nasional yang hanya 1 persen.

Adik melanjutkan, kebijakan yang terlalu membatasi industri hasil tembakau akan berdampak langsung pada masyarakat. Selain itu, Jawa Timur memiliki lahan tembakau seluas 200 hektare yang menyerap ratusan ribu tenaga kerja di sektor pertanian. Karenanya, jika pemerintah mencanangkan target pertumbuhan ekonomi 8%, lapangan pekerjaan di sektor pedesaan perlu ditingkatkan.

“Tembakau menjadi salah satu sektor yang berkontribusi besar dalam perputaran ekonomi di pedesaan. Dengan lapangan pekerjaan yang tersedia, petani dan buruh tani dapat memperoleh penghasilan yang cukup, sehingga roda ekonomi dapat berputar dengan baik,” terang Adik.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Mujiburrohman, juga memberikan pandangan serupa terhadap penerapan Rancangan Permenkes terkait rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek.

Ia menilai, kebijakan tersebut perlu dibatalkan karena berdampak besar bagi pedagang pasar. Regulasi ini, menurut Mujiburrohman, dapat mendorong peredaran rokok ilegal di pasar tradisional, yang pada akhirnya justru akan menurunkan omzet pedagang.

Saat ini, pendapatan pedagang sudah menurun akibat downtrading, yaitu peralihan konsumen ke rokok yang lebih murah. Ditambah dengan potensi masuknya rokok ilegal, pedagang semakin khawatir omzet mereka akan turun lebih jauh.

Tidak hanya itu, Mujiburrohman menambahkan bahwa pedagang pasar belum dilibatkan dalam perumusan aturan ini.  Ia pun mengusulkan agar regulasi tersebut dikaji ulang dan disesuaikan dengan tujuan-tujuan yang diemban oleh kementerian terkait. Menurutnya, Kementerian Kesehatan maupun Kementerian Keuangan memiliki peran yang berseberangan, tetapi saling melengkapi.

“Di satu sisi, Kementerian Kesehatan bertugas menjaga kesehatan masyarakat, sementara Kementerian Keuangan membutuhkan pendapatan untuk APBN. Aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek ini justru akan mempermudah pemalsuan dan distribusi yang tak terkontrol. Rokok ilegal makin banyak dan tujuan kesehatan Kemenkes juga tidak tercapai,” paparnya.

Mujiburrohman berharap agar pemerintah mengambil langkah yang bijak dalam menetapkan kebijakan ini. Jangan sampai ada indikasi pengaruh tertentu yang justru kontra produktif. “Permintaan kami hanya satu, tolong kaji ulang dengan mempertimbangkan kepentingan semua pihak, terutama para pedagang pasar yang menjadi bagian dari perekonomian rakyat,” katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya