Raja Tekstil RI Pailit, Ekonom Ungkap Daya Saing Produk Lokal Dilibas Tiongkok

PT Sri Rejeki Isman atau Sritex
Sumber :
  • sritex.co.id

Jakarta, VIVA – Pailitnya PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) alias Sritex mencerminkan hantaman internal maupun eksternal ke sektor manufaktur nasional, utamanya industri tekstil dan garmen, memang benar-benar nyata dan fatal. Hal itu diungkapkan Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Agus Herta Sumarto.

Industri Plastik dan Karet Indonesia Didorong Akselerasi Penerapan Ekonomi Hijau

Bahkan, menurutnya pemain di industri tekstil dengan kapasitas sebesar Sritex, merupakan raja terakhir yang mampu bertahan hingga akhirnya dinyatakan pailit di tengah badai tersebut.

"Sritex ini menjadi yang terakhir (bangkrut) karena dia sebagai The King of The Textile Company kan," kata Agus saat dihubungi VIVA, Kamis, 24 Oktober 2024.

Rokok Ilegal Makin Menjamur, Industri Dorong Langkah Tegas Pemerintah

PT Sri Rejeki Isman atau Sritex

Photo :
  • sritex.co.id

Dia menjelaskan, kualitas produk tekstil Indonesia harus diakui sudah sangat kalah jauh dalam hal daya saing, dibandingkan dengan produksian dari industri-industri serupa asal China.

Konglomerat Sugiman Halim Investasi Jumbo Saham BOAT, Kepemilikannya Naik Jadi 10,51 Persen

"Sehingga ketika produk-produk Tiongkok itu masuk ke Indonesia, ya otomatis masyarakat banyak yang membeli produk-produk dari luar dibandingkan dari dalam negeri," ujarnya.

Dengan kalah saingnya produksian tekstil Indonesia di pasar global, hal itu kemudian berdampak pada beralihnya para vendor ke negara-negara dengan hasil produksi tekstil yang lebih unggul. 

Sehingga, para pemain lokal seperti Sritex pun harus rela kehilangan pasarnya, baik secara retail maupun secara wholesale. Hal itulah yang secara khusus diakui oleh Agus, turut memperparah kondisi kinerja keuangan Sritex hingga akhirnya harus dinyatakan pailit oleh pengadilan.

Ketika ditanya apakah kalah saingnya produk tekstil asal Indonesia termasuk milik Sritex adalah akibat dari tidak adanya inovasi, Agus pun tak menyangkal hal tersebut.

Terlebih, kondisi itu masih ditambah lagi dengan kesamaan line produksi dengan industri serupa asal China, sehingga menghasilkan produk sejenis namun dengan harga yang lebih murah dan kualitas yang jauh lebih baik dari produksian asal RI.

Tak cukup sampai di situ, lanjut Agus, banjirnya barang-barang impor bermerek juga turut menggerus pasar tekstil para pemain lokal di dalam negeri yang sebelumnya sudah sangat kecil. Hal itulah yang menurutnya juga turut berkontribusi pada hancurnya industri tekstil di Tanah Air, karena masyarakat banyak yang beralih ke barang branded meskipun dalam kondisi bekas (second).

"Itu yang kemudian menghancurkan industri tekstil kita, karena banyak masyarakat yang sekarang memilih barang branded tapi second. Nah itu yang kemudian beralih behavior masyarakatnya. Ini semakin menekan bukan hanya Sritex, tapi industri tekstil nasional secara keseluruhan," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya