RI Catat Deflasi 5 Bulan Beruntun, BPS Ungkap Mirip Fenomena Pasca-Krisis 1998
- ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Jakarta, VIVA – Indonesia telah mencatatkan deflasi selama lima bulan beruntun. Terbaru, pada September 2024 deflasi sebesar 0,12 persen secara month to month (mtm).
Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, deflasi beruntun ini sebelumnya pernah dialami oleh Indonesia. Deflasi ini tercatat terjadi krisis 1998, atau selama tujuh bulan berturut-turut mulai Maret hingga September 1999.
"Pada 1999, setelah inflasi melonjak akibat depresiasi tajam rupiah, harga-harga barang kembali turun dan menyesuaikan diri ke titik keseimbangan, yang menyebabkan deflasi selama tujuh bulan berturut-turut," kata Amalia dalam konferensi pers di Kantor BPS, Jakarta, Selasa, 1 Oktober 2024.
Selain itu, deflasi juga pernah terjadi pada Desember 2008 hingga Januari 2009, yang dipicu oleh penurunan harga minyak dunia. Serta pada Juli hingga September 2020, saat pandemi COVID-19 berdampak pada penurunan harga berbagai komoditas.
Amalia menjelaskan, pada tahun 2024 ini deflasi lima bulan berturut-turut masih didorong oleh faktor penurunan harga, terutama dari sisi penawaran atau supply side. Salah satunya oleh penurunan harga sejumlah komoditas pangan.
"Deflasi terjadi karena adanya harga yang turun, terutama untuk produk tanaman pangan dan hortikultura seperti cabai merah, cabai rawit, daun bawang, kentang, dan wortel," jelasnya.
Selain itu, produk peternakan seperti telur ayam ras dan daging ayam ras yang sempat mengalami kenaikan harga pada bulan-bulan sebelumnya kini kembali menurun karena stabilisasi pasokan. Amalia menjelaskan, turunnya biaya produksi juga mempengaruhi harga di tingkat konsumen.
"Deflasi yang kita lihat saat ini tercermin melalui Indeks Harga Konsumen (IHK), di mana harga-harga turun seiring dengan meningkatnya pasokan komoditas, terutama pada masa panen," jelasnya.
Meski demikian, Amalia mengatakan bahwa deflasi beruntun ini belum bisa dikatakan bahwa daya beli masyarakat menurun. Sebab dibutuhkan kajian lebih mendalam.
"Untuk menghubungkan fenomena deflasi dengan penurunan daya beli, kita perlu melakukan kajian lebih mendalam. Penurunan harga yang terjadi saat ini lebih dipengaruhi oleh faktor penawaran," katanya.
Menurut Amalia, inflasi mencatat harga yang diterima konsumen, dan harga ini bisa turun bukan hanya karena daya beli menurun, melainkan karena peningkatan pasokan dan turunnya biaya produksi.
"Jika harga turun karena melimpahnya pasokan atau stabilisasi harga oleh pemerintah, maka hal itu tidak langsung mencerminkan penurunan daya beli," imbuhnya.