PHK Melonjak, Aturan Ini Diharapkan Bisa Redam Dampaknya Dongkrak Angka Stunting
- Dokumentasi Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan.
Jakarta, VIVA – Pemberlakuan Undang-Undang Kesehatan No. 17 Tahun 2023 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 telah mendapat sambutan positif, terutama dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan melindungi masyarakat. Namun, pelaksanaan UU ini juga dihadapkan pada tantangan baru, terutama terkait adanya lonjakan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah Redjalam mengatakan, dalam PP No. 28 Tahun 2024, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, merata, dan terjangkau oleh masyarakat. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan derajat kesehatan, termasuk mendorong pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif.
Tak hanya itu, dalam PP No. 28 tahun 2024 menegaskan hak setiap bayi untuk mendapatkan ASI eksklusif selama enam bulan pertama kehidupannya, kecuali atas indikasi medis. "Dengan kata lain, PP No. 28 tahun 2024 mengakui bahwa susu formula dapat digunakan untuk menggantikan ASI ketika ASI eksklusif tidak dapat diberikan dan donor ASI tidak tersedia," ujar Piter seperti dikutip dari siaran pers, Kamis, 26 September 2024.
Hal ini, kata dia, sejalan dengan upaya global yang diatur oleh WHO untuk melindungi dan mendukung proses menyusui. Apalagi, di tengah kondisi kesehatan yang memprihatinkan, yang mana  prevalensi stunting di Indonesia masih menjadi masalah.
Data BPS menunjukkan, meski angka pemberian ASI Eksklusif meningkat dari 68,84 persen pada 2020 menjadi 73,9 persen pada 2023, penurunan angka stunting sangat lambat, hanya turun 0,1 persen dari 21,6 persen di 2022 menjadi 21,5 persen di 2023.
"Melihat kondisi yang ada mengenai pemberian ASI Eksklusif dan juga perlunya percepatan penurunan angka stunting, diperlukan penciptaan kondisi yang mendukung pemberian ASI eksklusif seperti ruang laktasi di kantor dan ruang publik," jelasnya.
Piter menekankan bahwa regulasi tidak hanya perlu untuk menjamin kesehatan bayi, tetapi juga untuk mendukung perekonomian, terutama di tengah tren PHK yang meningkat. "Saya kira di saat masih ada isu stunting dan juga semakin meningkatnya proporsi tenaga kerja perempuan, justru akses terhadap produk dan informasi produk butuh diperkuat," tambahnya.
Berdasarkan data dari Kementerian Tenaga Kerja, tercatat ada 46 ribu pekerja terkena PHK di industri manufaktur, termasuk sektor tekstil dan garmen. Ini tentu menjadi tantangan dalam hal menjaga kesehatan masyarakat, terutama ibu dan anak, yang semakin terdesak. Â
"Diharapkan, Pemerintah bisa menjaga momentum positif ini untuk mengupayakan perbaikan status kesehatan dan kondisi perekonomian," ungkapnya.