Capai Puluhan Ton Setiap Tahunnya, Pemerintah Ungkap 2 Cara Pengelolaan Sampah
- VIVA.co.id/Natania Longdong
Jakarta, VIVA – Sampah di Indonesia merupakan masalah lingkungan yang serius. Setiap tahun, Indonesia menghasilkan sekitar 68 juta ton sampah, dengan sebagian besar berasal dari rumah tangga. Dari total sampah ini, hanya sekitar 10% yang didaur ulang, sementara sisanya berakhir di tempat pembuangan akhir atau bahkan dibakar.
Rofi Alhanif, Asisten Deputi Pengelolaan Sampah dan Limbah Kementerian Koordinasi Bidang Kemaritiman dan Investasi RI membeberkan bahwa pada 2023, sampah di Indonesia naik hingga mencapai 70 ton.
Bukan tanpa alasan, sampah yang meningkat itu dilatarbelakangi oleh berbagai faktor seperti meningkatnya jumlah penduduk, dan ekonomi masyarakat yang meningkat terutama pada kota-kota besar di Indonesia.
"Nah yang menjadi tantangan adalah ada data menyebutkan bahwa kurang lebih 35 persen sampah itu belum terkelola, terbuang begitu saja, atau terbakar. Intinya tidak tertangani, istilahnya kan harusnya sampah dari rumah dikumpulkan, diolah, sementara ini sudah ada, tapi kan belum sempurna, sehingga 35 persen itu masih terbuang ke lingkungan, tidak tertangani, tidak tahu nasibnya lah barangkali begitu," kata Rofi dalam acara Capacity Building Desain Bisnis Untuk Refuse Derived Fuel (RDF), di Hotel Vertu Harmoni, Jakarta, Rabu, 25 September 2024.
Di Indonesia sendiri, banyak daerah masih memiliki sistem pengelolaan sampah yang kurang efektif. Kurangnya fasilitas daur ulang dan tempat pembuangan yang memadai menjadi masalah.
Indonesia juga menjadi salah satu negara penghasil sampah plastik terbesar. Banyak plastik yang tidak terkelola dengan baik, mencemari lingkungan dan laut.
Kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengurangan, penggunaan kembali, dan daur ulang sampah menjadi tantangan utama.
"TPA-TPA kita sudah kelebihan kapasitas, kalau di Jakarta misalnya, Bantar Gebang ada 130-an hektar itu sudah penuh sampah semua itu, ketinggiannya juga sudah 60 sampai 100 meter gitu, nah itu yang terjadi di mana-mana, sehingga musim kemarau tahun lalu misalnya banyak kebakaran dan segala macam. Itu kondisi faktualnya," ucap Rofi.
Oleh sebab itu, kata Rofi, Pemerintah Indonesia saat ini sedang berupaya mengubah pola pengelolaan sampah.
Dari yang biasanya sampah itu dikumpul, angkut, buang, kini harus diolah dan yang paling utama itu pengolahannya.
"Ada dua (cara mengelola sampah) satu adalah pengurangan. Pengurangan itu bagaimana kita menangani timbunan sampah. Mengurangi itu artinya tidak menghasilkan sampah, nah sekarang mulai ada trend membawa Tumbler. Membawa Tumbler itu mengurangi (sampah), atau bawa makanan tidak dibungkus plastik misalnya, bawa tempat sendiri, segala macam. Itu upaya yang paling paling utama," ujar Rofi.
Kemudian cara yang kedua yaitu mendaur ulang sampah, untuk dapat menjadi sesuatu yang berguna bagi lingkungan.
"Sekarang (yang) kita dorong adalah untuk menggunakan teknologi pengolahan sampah sepertiitu yang kita diskusikan hari ini, salah satunya RDF. Artinya sampah yang terpilah itu dikeringkan, dicacah sedemikian rupa, baru setelah itu bisa dijadikan atau dibakar dengan kalori di bawah batubara (sedikit)."
Menurut Rofi, hal itu akan meraup keuntungannya sampah menjadi sumber energi baru.
Sejalan dengan hal itu, lembaga yang berfokus pada isu-isu bencana, lingkungan, dan energi dan sosial juga terus menggaungkan pentingnya teknologi RDF ini dalam pengolahan sampah di Indonesia.
Elisabeth Rianawati selaku Direktur Resilience Development Initiative (RDI) mengatakan bahwa sejumlah negara telah memberikan pendanaan untuk Pemerintah Daerah di Indonesia agar menggunakan teknologi RDF dalam pengolahan sampah. Institute dari Australia pun ikut andil dalam pendanaannya.
"Kegiatan sekarang itu adalah Capacity Building. Pendanaannya itu dari Departement of Climate Change, Energy, the Environment and Water, dan The University of Queensland," kata Elisabeth pada wartawan.
Direktur RDI menambahkan bahwa bantuan Internasional itu untuk mendorong Pemerintah Daerah agar mempelajari mengenai teknologi pengolahan sampah RDF.
Capacity Building sendiri untuk mendukung pengimplementasian Refuse-Derived Fuel (RDF) melalui proyek RDFact.
Sebagai informasi, teknologi pengolahan sampah RDF (Refuse-Derived Fuel) adalah proses konversi limbah padat menjadi bahan bakar alternatif.
Sampah yang diolah biasanya terdiri dari berbagai jenis material, seperti plastik, kertas, dan sisa makanan.
Proses ini mencakup pemisahan, pengeringan, dan penggilingan sampah untuk menghasilkan produk berbentuk pelet atau serbuk yang dapat digunakan sebagai sumber energi dalam pembangkit listrik atau industri.
RDF memiliki keuntungan dalam mengurangi volume sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir, serta mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Dengan memanfaatkan limbah, teknologi ini mendukung upaya keberlanjutan dan pengelolaan sampah yang lebih efisien.