Sukses Hilirisasi Menuju Industrialisasi

Peninjauan fasilitas pengolahan konsentrat tembaga di smelter Freeport.
Sumber :
  • Aditya Laksmana Yudha/VIVA.

Gresik, VIVA – Pekan ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan tiga megaproyek smelter. Ketiganya adalah smelter milik PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) di Sumbawa Barat, NTB, smelter milik PT Freeport Indonesia di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE), Kabupaten Gresik Jatim, serta peresmian Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) milik PT Borneo Alumina Indonesia (BAI) di Kabupaten Mempawah, Kalbar. 

Melanjutkan Tren Positif Hilirisasi Melalui Asta Cita

Smelter sendiri merupakan fasilitas pengolahan hasil tambang, dalam hal ini sumber daya alam mineral, yang berfungsi meningkatkan kandungan logam, seperti nikel, timah, tembaga, emas, dan perak. Melalui proses pengolahan di smelter ini, kandungan logam yang dihasilkan akan mencapai tingkat yang memenuhi standar sebagai bahan baku produk akhir. Otomotis, akan meningkatkan nilai tambah secara ekonomi.

Ketiga smelter yang diresmikan Presiden tersebut, satu di antaranya milik swasta yakni AMNT. Adapun dua smelter lainnya adalah milik anak perusahaan BUMN holding tambang MIND ID, masing-masing PT Freeport Indonesia, serta PT BAI yang merupakan proyek patungan PT Inalum dan PT Aneka Tambang. 

Linde Umumkan Mulai Pasok Gas Indusri ke Smelter Freeport Indonesia

Tiga smelter tersebut menelan investasi jumbo, mencapai total Rp 93 triliun. Perinciannya, smelter AMNT di Sumbawa Barat Rp 21 triliun, smelter Freeport senilai Rp 56 triliun, dan smelter BAI tahap pertama senilai Rp 16 triliun.

Peresmian smelter-smelter tersebut merupakan bukti konkret visi Presiden Jokowi mewujudkan hilirisasi hasil tambang mineral di Tanah Air. Sebagai negara yang kaya dengan sumber daya alam mineral, Presiden menegaskan sudah saatnya Indonesia memperoleh nilai tambah ekonomi yang lebih maksimal melalui hilirisasi.

Selamatkan Devisa Ratusan Triliun, Freeport dan Antam Teken MoU Jual-Beli Emas 30 Ton Per Tahun

Presiden Joko Widodo saat meresmikan Smelter Grade Alumina Refinery di Mempawah.

Photo :
  • Aditya Laksmana Yudha/VIVA.

Indonesia, ungkap Presiden, memiliki kebiasaan mengekspor bahan mentah sejak 400 tahun silam. “Sejak zaman VOC kita sudah mengekspor bahan mentah. Dulu rempah-rempah,” ungkapnya.

Negara-negara yang mengimpor bahan mentah dari Indonesia, semua telah menjelma menjadi negara maju. Sebaliknya Indonesia masih bergumul dengan berbagai persoalan fundamental untuk dapat naik kelas dari negara berkembang ke berpendapatan menengah.

“Negara maju kecanduan impor bahan mentah dari Indonesia. Mereka mendapat manfaat ekonomi yang besar. Akibatnya, saat kita melakukan hilirisasi, pasti diganggu, karena mereka tidak rela dan tidak mau kehilangan nilai tambah dari impor bahan mentah dari kita,” ujar Presiden saat meresmikan injeksi perdana bauksit di smelter SGAR, Mempawah, Selasa (24/9/2024). 

Dalam perjalanannya, dinamika kondisi eksternal memunculkan peluang untuk mewujudkan hilirisasi. Perubahan geopolitik global, pandemi COVID-19, serta ancaman resesi membuat banyak negara sibuk mengatasi problematika yang mereka hadapi di negara masing-masing. 

“Empat tahun lalu saat menyetop ekspor nikel mentah, Uni Eropa menggugat ke WTO. Tapi setelah itu aman. Demikian pula saat kita menghentikan ekspor bauksit mentah, juga tidak ada gugatan. Hal yang sama terjadi saat kita stop ekspor tembaga,” ungkap Presiden.

Presiden Jokowi dan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia di sela acara peresmian smelter tembaga dan permurnian logam mulia Amman

Photo :
  • Dok. Amman

Memasuki industrialisasi

Program hilirisasi yang telah menampakkan hasilnya ini, merupakan tonggak bagi Indonesia memasuki era industrialisasi. “Jejak-jejak hilirisasi ini akan membawa Indonesia menjadi negara industri. Saatnya kita membangun industri. Dimulai dengan mengolah sumber daya alam mineral yang kita miliki, dengan tidak mengekspor bahan mentah,” tegas Presiden.

Dengan hilirisasi, nilai tambah yang diperoleh diyakini akan mengalami lompatan besar. Nilai tambah dari ekspor nikel mentah, misalnya, hanya berkisar US$ 1,4 miliar hingga US$ 2 miliar, atau sekitar Rp 20 triliun hingga Rp 30 triliun.

“Tahun lalu kita stop (ekspor mentah), ada lompatan nilai tambah luar biasa yang kita peroleh menjadi US$ 38 miliar, atau hampir Rp 600 triliun,” ungkapnya.

Nilai tambah lain juga diperoleh dari penghematan devisa yang sebelumnya digunakan untuk mengimpor. Salah satunya kebutuhan aluminium yang rata-rata 1,2 juta ton per tahun, 56 persen di antaranya dipenuhi dari impor.

Dengan selesainya smelter bauksit SGAR yang menghasilkan aluminium, kebutuhan impor 56% bisa dipenuhi dari produksi aluminium dalam negeri. “Kita bisa stop impor, yang artinya akan ada penghematan devisa sekitar US$ 3,5 miliar atau lebih dari Rp 50 triliun,” ungkap Jokowi.

Selain menuju industrialisasi, program hilirisasi juga akan mengubah struktur Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional. Selama ini, 56 persen PDB disumbang konsumsi domestik. Melalui hilirisasi dan industrialisasi, ekonomi nasional akan bertumpu pada kegiatan investasi dan produksi.

“Sebagai pemilik cadangan tambang mineral terbesar ketujuh di dunia, kita mengawali hilirisasi dan industrialisasi, sehingga ekonomi kita kelak bertumpu pada produksi, bukan lagi kegiatan konsumsi,” ujar Presiden.

Peresmian smelter Amman Mineral Nusa Tenggara di Sumbawa Timur, NTB.

Photo :
  • Aditya Laksmana Yudha/VIVA.

Produsen tembaga terbesar

Berbeda dengan smelter SGAR yang mengola bauksit menjadi bahan baku aluminium, smelter milik Amman dan Freeport keduanya mengolah konsentrat tembaga menjadi katoda tembaga, emas, perak, dan produk turunan lainnya.

Kehadiran smelter Freeport dan Amman tersebut, ke depan diharapkan menjadikan Indonesia sebagai negara produsen tembaga terbesar di dunia. Dengan kata lain, kebutuhan tembaga dunia bergantung pada Indonesia.

Smelter Amman memiliki kapasitas produksi 900.000 ton konsentrat tembaga. Nantinya, akan mampu menghasilkan 220.000 ton katoda tembaga, 18 ton emas, 55 ton perak, serta 850.000 ton asam sulfat.

Sedangkan smelter Freeport di Gresik, memiliki kapasitas pengolahan sebanyak 1,7 juta ton konsentrat tembaga yang dihasilkan perut bumi Papua. Dari smelter yang berdiri di atas lahan seluas 104 hektare tersebut, nantinya akan dihasilkan 900.000 katoda tembaga, 50 ton emas, dan 210 ton perak.

Presiden Jokowi bersama para Menteri saat peresmian produksi smelter PT Freeport

Photo :
  • Dok. Biro Pers Sekretariat Presiden

Tak hanya itu, dari smelter Freeport ini ke depan diharapkan akan mampu mengolah konsentrat tembaga menjadi selenium, yang merupakan bahan baku utama semikonduktor. Hal ini akan membawa Indonesia menjadi pemain utama di semikonduktor.

Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Tony Wenas mengungkapkan, katoda tembaga yang dihasilkan smelter di Gresik, mampu mendukung kebutuhan tembaga untuk ekosistem kendaraan listrik (electric vehicle/EV) sekaligus kebutuhan transisi energi. 

Dalam hal transisi ke renewable energy, Tony memastikan bahwa hasil produksi katoda tembaga Freeport di Gresik sesuai dengan yang dibutuhkan pembangkit listrik, masing-masing untuk PLTS bisa menghasilkan sekitar 200 Gigawatt (GW) energi listrik, PLT Bayu (tenaga angin) sebesar 600 GW, dan PLT Hydro atau air sekitar 800 GW setiap tahun.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya