Rencana Kemasan Rokok Polos Dianggap Ancam Target Pertumbuhan Ekonomi

Ilustrasi usia merokok minimal 18 tahun ke atas.
Sumber :

Jakarta, VIVA – Kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK), sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan dianggap dapat menekan penerimaan negara hingga mengancam pertumbuhan ekonomi nasional. Termasuk yang ditargetkan oleh pemerintahan Prabowo Subianto mendatang.

Bea Cukai Parepare Musnahkan Jutaan Barang Ilegal Bernilai 2 Miliar Rupiah

Subdit Tarif Cukai dan Harga Dasar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, Ari Kusuma mengatakan, dari empat pilar dalam penyusunan kebijakan produksi hasil tembakau, ekosistem pertembakauan di Indonesia harus diperhatikan secara keseluruhan.  Sebab, menurutnya peran dari sektor tembakau tidak main-main. Dimana cukai hasil tembakau (CHT) menyumbang sekitar 12,2 persen dari total keseluruhan penerimaan pajak negara. Ari menegatakan, nilai tersebut cukup besar jika dilihat kontribusinya dari satu sektor saja. 

“Dengan begitu, sektor ini harus diperhitungkan ketika membuat kebijakan dan perlu melibatkan banyak pihak, tidak bisa hanya melihat dari satu sisi saja," kata Ari dalam keterangannya, Selasa, 24 September 2024.

Penindakan Rokok Ilegal di Kendari Pulihkan Ratusan Juta Rupiah Potensi Kerugian Negara

Tembakau kering yang dilinting untuk menjadi rokok di pabrik.

Photo :
  • VIVA/ Yeni Lestari.

Dia memaparkan, perkembangan penyebaran rokok ilegal pada periode 2022-2023, yakni dari 5,5 persen meningkat menjadi 6,9 persen. Artinya, ada tantangan lainnya yang harus dihadapi oleh pemerintah, jika aturan kemasan rokok polos tanpa merek ini diterapkan. Yakni mulai dari pemberantasan rokok ilegal, dan berbagai tantangan dari sisi penerimaan dan penurunan produksi. 

Rokok Ilegal Makin Menjamur, Industri Dorong Langkah Tegas Pemerintah

“Kami melihat adanya tantangan dari sisi penerimaan, dan akan mempengaruhi penurunan produksi yang pada gilirannya mempengaruhi penerimaan cukai. Tantangannya juga cukup besar. Ini akan menjadi PR buat kami untuk melakukan optimalisasi dari penerimaan CHT," ujarnya.

Senada, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad berpendapat, selain kurangnya transparansi dan partisipasi dari pemangku kepentingan terkait, PP 28/2024 maupun RPMK dapat memberikan efek negatif berganda bahkan tiga kali lipat jika melihat target penerimaan cukai yang masih belum tercapai selama tiga tahun terakhir. 

“Secara agregat, ini menjadi catatan kritis ketika Oktober nanti dan tahun depan sudah berganti pemerintahan baru, yang sangat membutuhkan support anggaran," kata Tauhid.

"Ini akan jadi pertanyaan karena saya kira ini dapat menjadi isu yang kuat. Jika Permenkes diberlakukan, maka akan terjadi hal yang dikhawatirkan bukan hanya pada penerimaan, tapi juga pada pekerja, industri, dan lainnya,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya