Media Asing Soroti Kelas Menengah Indonesia yang Terus Merosot, Sebut Buruknya Sektor Manufaktur
- vstory
Jakarta, VIVA – Penurunan signifikan kelas menengah (middle class) di Indonesia turut menjadi pemberitaan di luar negeri. Media asing menyoroti pandangan para analis yang menyatakan kondisi ini sebagai 'alarm peringatan'.
Kelas menengah menjadi faktor penting dalam menunjang sekaligus penggerak utama ekonomi Indonesia yang jumlahnya mencakup 66,6 persen. Sehingga, apabila jumlahnya semakin merosot akan berdampak terhadap keuangan bahkan berpotensi menimbulkan masalah serius, seperti kemiskinan.
Media Singapura, Channel News Asia (CNA), mempublikasikan artikel tentang kondisi kelas menengah di Indonesia pada Kamis, 30 Agustus 2024. CNA memaparkan data Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa jumlah kelas menengah menurun drastis sebanyak 9,5 juta selama lima tahun terakhir.
Jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia mencapai 57,33 juta jiwa pada tahun 2019. Sementara, data BPS menunjukkan penurunan kelas menengah menjadi 47,85 juta jiwa pada tahun 2024.
Bank Dunia mendefinisikan kelas menengah merupakan individu yang mempunyai pengeluaran setiap bulan dari pendapatannya berkisar 3,5-17 kali di atas garis kemiskinan. Secara spesifik, BPS menetapkan sekitar 2-9,9 juta rupiah per kapita. CNA menuliskan setara US$130.
Media asing tersebut juga mengutip pernyataan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti yang mengatakan kondisi kelas menengah turun peringkat terjadi sejak pasca pandemi COVID-19.
Tak hanya itu, pendapat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto perihal serangkaian langkah dalam mencegah kelas menengah semakin merosot menjadi poin dalam pemberitaan tersebut. Menko Hartanto mengatakan pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai intensif untuk middle class antara lain program perlindungan sosial, insentif pajak, program Prakerja, serta skema Kredit Usaha Rakyat, dan lain-lain.
Menko Airlangga Hartarto juga menyinggung pemerintah pusat menggelontorkan pajak properti senilai Rp5 miliar hingga paruh kedua tahun 2024. Tujuannya guna meringankan beban pajak untuk kelas menengah. Ia juga berharap suntikan dana tersebut dapat meningkatkan daya beli kalangan menengah.
Analis membantah penurunan jumlah kelas menengah tak hanya disebabkan oleh pandemi saja. CNA merangkum pendapat analis yang sepakat menyatakan faktor fundamental ekonomi nasional yang lemah, kebijakan pemerintah yang memberatkan, serta tidak adanya jaring pengaman sosial yang kuat.
CNA juga menuliskan penyebab susutnya kelas menengah atas dan bawah karena buruknya kinerja sektor manufaktur dalam negeri. Kondisi ini menimbulkan efek domino, yakni tren pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 100 ribu pekerja.
Lebih lanjut, CNA menyampaikan kebijakan stakeholder dengan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN). Ini berdampak meningkatkan harga eceran. Praktis, semakin memberatkan beban masyarakat kelas menengah.