Ekonomi Jepang Dihantui Masalah Inflasi, Begini Penjelasannya
- Istimewa
Jakarta, VIVA – Jepang belum lama ini mencatatkan prestasi besar dengan Gross Domestic Product (GDP) nominal tahunan melampaui 600 triliun yen, atau setara dengan sekitar 4 triliun dolar AS. Namun, di balik pencapaian ini, ada kekhawatiran mendalam terkait inflasi yang justru menjadi pendorong utama peningkatan tersebut.
Berdasarkan laporan GDP kuartal kedua 2024 yang dirilis Biro Kabinet Jepang pada 15 Agustus lalu menunjukkan, target ambisius yang dipatok mantan Perdana Menteri Shinzo Abe pada 2015 telah tercapai. Namun, Atsushi Furukawa, staf Departemen Ekonomi, dalam artikel di Mainichi Shimbun menegaskan bahwa peningkatan ini lebih dipicu oleh inflasi yang melonjak daripada oleh pertumbuhan ekonomi yang sehat.
"Ekonomi Jepang telah lama berada dalam kondisi stagnasi, dengan GDP nominal dan aktual yang biasanya sejalan," kata Furukawa, dilansir dari siaran pers, Jumat, 23 Agustus 2024.
Namun, sejak 2015, sambung dia, inflasi telah memperlebar kesenjangan antara GDP nominal dan aktual. Pada 2023, GDP nominal mencapai 590 triliun yen, sementara GDP aktual hanya 559 triliun yen.
Lebih lanjut, Furukawa mengkritik kesalahan perhitungan data industri konstruksi yang turut menyumbang peningkatan GDP nominal secara tidak wajar. Ini, mata dia, bisa merusak kepercayaan publik terhadap data resmi dan bisa memengaruhi kebijakan pemerintah.
Sementara itu, Menurut IMF, GDP nominal Jepang diperkirakan mencapai 4,31 triliun dolar pada 2025, dan berisiko tertinggal dari India. Bahkan, pada 2023, Jepang sudah tergeser oleh Jerman sebagai ekonomi terbesar keempat di dunia.
Dalam upaya mempertahankan daya saing, pemerintah Jepang menargetkan GDP nominal 1000 triliun yen pada 2040. Namun, menurut Hideyuki Kumano, Ekonom Kepala Japan Life Economics Research Institute, fokus seharusnya dialihkan pada peningkatan pendapatan per kapita dan reformasi ekonomi yang lebih konkret.