The Fed Tetapkan Inflasi AS Sebesar 2 Persen, Begini Alasannya
- Twitter.com/@federalreserve
Jakarta, VIVA – Inflasi AS pada bulan Juli sesuai dengan ekspektasi pasar. Indeks Harga Konsumen (CPI) yang mengukur harga barang dan jasa menunjukkan kenaikan 0,2 persen dari bulan Juni.
Secara tahun ke tahun (yoy), CPI meningkat 2,9 persen. Harga inti (tidak termasuk barang makanan dan energi) ikut melonjak 0,2 dari bulan ke bulan (mom).
Laporan ini menguatkan keyakinan pelaku pasar adanya penurunan suku bunga AS pada bulan September mendatang. Pasalnya, tingkat inflasi semakin mendekati target The Fed jangka panjang sebesar 2 persen.
Pada pertemuan FOMC, Ketua The Fed Jerome Powell mengindikasikan bank sentral membuka kemungkinan besar pemangkasan suku bunga. Namun, Powell tidak merinci secara signifikan penurunan suku bunga acuan.
Lantas mengapa The Fed memutuskan tingkat inflasi sebesar 2 persen sebagai tolok ukur arah kebijakan suku bunga acuan?
Dikutip dari Yahoo Finance, data inflasi telah lama menjadi landasan kebijakan The Fed. Hal itu karena mandat ganda dari bank sentral guna mendorong lapangan kerja secara maksimal dan menstabilkan harga.
Sebenarnya bank sentral AS tidak pernah menetapkan angka perihal inflasi. Namun, tingkat inflasi telah ditetapkan sebesar 2 persen sejak tahun 2012.
Ekonom dari Peterson Institute for International Economics David Wilcox mengatakan bahwa target 2 persen memberi bank sentral ruang yang cukup untuk menyesuaikan kebijakan guna menjaga kesehatan ekonomi.
"Ketika ekonomi memasuki resesi, ada ruang bagi The Fed untuk mengambil tindakan untuk mengatasi kondisi tersebut. Begitu juga saat suku bunga yang cukup tinggi di atas nol sehingga ada keleluasaan untuk melonggarkan persyaratan, menurunkan suku bunga, menurunkan suku bunga hipotek, dan suku bunga pinjaman untuk mobil," jelas Wilcox.
Target 2 persen pun telah diadopsi secara luas oleh bank-bank sentral di seluruh dunia. Pemikiran ini berasal dari pernyataan spontan yang dibuat di Selandia Baru.
Angka inflasi yang sulit ditangani sejak pandemi Covid-19 telah memicu perdebatan. Para kritikus berpendapat angka target harus lebih tinggi dari 2 persen.
Pada sidang Komite Layanan Keuangan DPR pada awal tahun ini, Anggota Kongres Brad Sherman bertanya kepada Powell perihal apakah kebijakan inflasi The Fed cukup memadai untuk menjaga kesehatan ekonomi negara Paman Sam itu.
"Jika standarnya terlalu tinggi, kita akan kehilangan pertumbuhan ekonomi. Sementara, apabila standarnya terlalu rendah, kita akan mengalami dana talangan dan kebangkrutan," jawab Powell.
Kritikus lain berpendapat hiperfokus The Fed terhadap inflasi mengorbankan pasar tenaga kerja. Semestinya The Fed mulai mengadopsi target numerik serupa untuk mandat lainnya.
The Fed meninjau kerangka kebijakan moneternya setiap lima tahun. Tinjauan terbaru akan dimulai tahun 2024. Para pejabat AS sepakat untuk dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh mencakup strategi kebijakan, perangkat, dan praktik komunikasinya.”