Tarif Angkutan Penyeberangan Lebih Rendah dari HPP, Gapasdap Dorong Pemerintah Beri Perhatian Khusus
- VIVAnews/Fikri Halim
Jakarta, VIVA - Kondisi angkutan penyeberangan di Indonesia dinilai semakin memprihatinkan, yang ditandai dengan semakin banyaknya perusahaan yang tidak bisa membayar gaji karyawan tepat waktu hingga terpaksa harus gulung tikar ataupun dijual.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap), Khoiri Soetomo mengatakan, kondisi iklim usaha yang kurang bagus di sektor angkutan penyeberangan, dinilai telah menjadi penyebabnya.
"Tarif yang berlaku saat ini masih tertinggal sebesar 31,8 persen dari perhitungan HPP yang telah dihitung bersama-sama antara Kemenhub, Gapasdap, PT ASDP, perwakilan konsumen, dan juga Kemenko Marvest," kata Khoiri dalam keterangannya, Minggu, 11 Agustus 2024.
Dia menambahkan, kondisi tersebut juga masih diperparah dengan kenaikan nilai tukar kurs dollar, yang hingga saat ini masih berada di atas Rp 16.000 per US$.
"Padahal 70 persen komponen biaya angkutan penyeberangan sangat dipengaruhi kurs dollar. Misalnya seperti biaya perawatan, spare part, biaya doking, alat-alat keselamatan dan sebagainya," kata Khoiri.
Menurutnya, pehitungan tarif yang saat ini masih tertinggal 31,8 persen itu dihitung pada tahun 2019, dimana saat itu nilai kurs dollar atas rupiah masih Rp 13.391 per US$. Hal itu belum termasuk kenaikan biaya UMR setiap tahun, serta inflasi yang terjadi dari tahun 2019 sampai dengan sekarang.
Kondisi itu pun semakin parah, karena hari operasi kapal yang rata-rata hanya beroperasi sebanyak 30-40 persen saja setiap bulannya. Hal itu sebagai akibat dari kurangnya dermaga di hampir semua lintas penyeberangan komersial.Â
Semua itu menurutnya hanya akan menyulitkan pengusaha dalam menutup biaya operasional yang ada, terutama fix cost yang tetap muncul ketika kapal tidak beroperasi.
Karenanya, terkait dengan kondisi tersebut, Gapasdap meminta agar pemerintah segera merealisasikan penyesuaian tarif, paling tidak secara bertahap hingga 15 persen.
"Kami berharap ini tidak ditawar lagi. Karena jika kita lihat, sebenarnya harga tiket penyeberangan yang berlaku di masyarakat lebih tinggi lagi akibat sistem penjualan ferizy yang tidak dijual oleh PT ASDP secara langsung dan harus melalui calo-calo," ujarnya.