AFPI CEO Forum 2024: Pemberantasan Pinjol Ilegal hingga Branding Baru Jadi Sorotan
- Dokumentasi AFPI.
Jakarta, VIVA – Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) sukses menggelar AFPI CEO Forum 2024 dengan tema ‘Managing the Wave of Indonesia Post-Election’ di Jakarta Awal pekan ini. Branding baru pendanaan fintech yang biasa disebut pinjaman online (Pinjol) pun, jadi salah satu yang didorong ke depannya.
Forum ini dihadiri oleh para CEO Penyelenggara fintech lending anggota AFPI, regulator, kementerian dan lembaga, serta para pakar industri keuangan. Forum itu juga telah berhasil menjadi titik temu bagi para pelaku industri fintech lending untuk membahas berbagai tantangan dan peluang di masa depan.
Khususnya terkait pentingnya adaptasi terhadap dinamika pasar yang semakin cepat hingga komitmen bersama untuk memberantas praktik pinjaman online ilegal dan meningkatkan literasi keuangan masyarakat.
“Kami berkomitmen untuk terus memerangi pinjol dan mendorong akses pendanaan yang lebih luas di Indonesia,” ujar Ketua Umum AFPI Entjik S Djafar dikutip dari keterangannya, Kamis, 8 Agustus 2024.
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Agusman, memberikan gambaran yang jelas mengenai arah kebijakan regulator ke depan, dan menekankan bahwa fintech lending memiliki potensi pertumbuhan yang besar.
“Melalui amanah UU P2SK, kita harus melakukan penguatan-penguatan. Termasuk perbaikan tata kelola dan perbaikan pelindungan konsumen.” ujar Agusman pada sambutannya.
Dia menambahkan tentang dukungan yang diberikan OJK terhadap industri untuk mencari branding baru supaya bisa mengisolasi mana yang dikonotasikan sangat negatif di tengah masyarakat yang sering disebut sebagai pinjol, dengan yang betul-betul membantu perekonomian dan sektor keuangan yang menyentuh grassroot perekonomian untuk orang-orang yang akses lending-nya masih terbatas.
“Fintech lending pertumbuhannya mencapai 26 persen (YoY), berarti ini adalah institusi keuangan yang paling tinggi pertumbuhannya di negeri ini. Dengan kualitas NPL terjaga 2,7 persen, kami yakin ini adalah kerja keras dari pelaku ekosistem industri untuk membuat industri ini survive jangka panjang.” tambahnya.
Anggota Dewan Penasihat AFPI Chatib Basri, yang memberikan sambutannya dalam 3 perspektif, yaitu kondisi ekonomi global, dampaknya pada ekonomi Indonesia, dan bagaimana kondisi ekonomi Indonesia pasca-pemilu.
“Kita mungkin berhadapan dengan kondisi di mana tingkat bunga masih akan relatif tinggi sampai dengan akhir tahun, dan ini punya dampak kepada industri fintech. Dalam kondisi seperti ini cost of fund akan menjadi relatif mahal, maka mau tidak mau setiap company fintech harus menerapkan strategi path to profitability,” ungkapnya.
Chatib menambahkan, walau di tengah berbagai guncangan dan tekanan ekonomi global, ekonomi Indonesia masih cenderung resilience dan Ia cukup optimis akan pertumbuhan di kisaran 5 persen pada tahun 2024.
“India punya kemiripan dengan Indonesia, jumlah penduduk yang besar, vibrant democracy, bureaucratic hurdles. Tetapi yang menarik dari India adalah mereka berhasil melakukan technology diffusion, membuat teknologi menjadi bagian dari keseharian masyarakat. Dalam konteks ini, peran dari AFPI menjadi sangat krusial untuk meningkatkan produktivitas, untuk meningkatkan financial inclusion.” tambahnya.
Pada kesempatan yang sama dalam pidato kuncinya, Yusril Ihza Mahendra, Menteri Sekretaris Negara Periode 2004-2007 dan Ketua Tim Kuasa Hukum Prabowo-Gibran, memberikan perspektif mengenai kerangka hukum yang mendukung pertumbuhan industri fintech di Indonesia.
“Kemajuan perkembangan di bidang teknologi begitu cepat mempengaruhi aktivitas-aktivitas ekonomi. Tapi kecepatan kita untuk mengatur hal itu dan mengantisipasinya dengan norma-norma hukum, kadang-kadang sangat jauh tertinggal dan terlambat. Apalagi kalau kita membentuk Undang-undang, prosesnya panjang dan lama sekali.” ujar Yusril.
Ia berharap Presiden baru terpilih dapat melakukan suatu terobosan di bidang birokrasi dan hukum, karena jika hal tersebut dilakukan, akan membawa dampak yang cukup besar dalam menopang pertumbuhan ekonomi.
Hingga Mei 2024, industri fintech lending tercatat telah menyalurkan Rp 874,5 triliun kepada 129 juta peminjam di Indonesia, dengan porsi penyaluran sektor produktif sebesar 30,61 persen. Menurut riset EY MSME Market Study & Policy Advocacy, diproyeksikan total kebutuhan pembiayaan UMKM pada 2026 akan mencapai Rp 4.300 triliun dengan kemampuan supply hanya Rp 1.900 triliun. Artinya terdapat selisih atau gap sebesar Rp 2.400 triliun dari total kebutuhan pembiayaan