'Tower Terbang' Mitratel Vs Starlink, Siapa Mengancam?
- Syahdan Nurdin
Labuan Bajo, VIVA - Kehadiran Starlink di industri telekomunikasi bukanlah ancaman bisnis Mitratel dalam memberikan layanan akses internet dan jaringan telekomunikasi kepada masyarakat.
"Dia hanya sebagai complementary service," ujar Direktuk Investasi PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel) Hendra Purnama kepada VIVA di KLM Lako Di'a, Labuan Bajo, NTT, Selasa malam (6/8/2024) .
Hendra menjelaskan Mitratel adalah perusahaan infrastruktur telekomunikasi terbesar dengan memiliki 38.000 tower untuk melayani akses internet dan jaringan telekomunikasi di seluruh wilayah Indonesia.
Dengan menyewakan tower ke berbagai operator (Telkomsel, XL, Indosat, dll), konsumen mendapatkan layanan internet dengan mudah, flexible, dan murah.
"Mereka cukup dengan handphone bisa akses internet, paling mahal sebulan Rp200 ribuan sudah bisa pakai internet," jelas Hendra.
Sementara, dengan menggunakan Starlink bisa lebih mahal. Perlu internet Rp700 ribuan, modem dan perangkatnya sampai Rp7 jutaan. Meski begitu, kehadiran Starlink cocok untuk meng-cover wilayah-wilayah yang tidak terjangkau tower.
"Dia membantu untuk wilayah tersebut karena mereka menggunakan satelit, masyarakat tidak perlu berlama-lama menunggu tower," jelas Hendra.
Namun, menurut Hendra, bukan berarti wilayah yang tidak terjangkau dan tidak ada sinyal berarti tidak perlu tower.
"Ini kemungkinan belum ada market atau masih sedikit sehingga belum dibangun tower. Lagi pula kalau dibangun tower, itu terlalu mahal bagi perusahaan karena tidak ada benefitnya. Oleh karena itu, bisa juga dengan teknologi baru Flying Tower System (FTS) yang ditawarkan Mitratel nanti," jelasnya.
Seperti diketahui, dalam seminggu ini, Flying Tower System ini, ramai dengan sebutan BTS Langit, BTS Terbang. Namun, istilah yang mendekati dengan teknologi telekomunikasi ini, menurut Hendra, 'tower terbang'.
"Ini bukan BTS-nya yang terbang, BTS tidak ada di situ dan BTS itu berat. Yang ada sistem tower terbang, tapi yang pas sebutannya Flying Tower System," tegas Hendra.
Untuk teknologi ini, Mitratel menggandeng AALTO, anak perusahaan Airbus. FTS ini adalah pesawat tanpa awak yang bertenaga surya dan menggunakan teknologi Zephyr High Altitude Platform Station (HAPS).
Dengan kehadiran teknologi HAPS ini jusrtru akan mengancam Starlink bukan sebaliknya. "Justru ini mengancam Starlink, kita akan subtitute Starlink," jelas Hendra. Â
Teknologi HAPS dengan menerbangkan ketinggian 20-50 Km, sedangkan Starlink 500 sd 2000 Km. Karena posisinya HAPS lebih dekat, maka speednya lebih tinggi dan latency (delay-nya) lebih sedikit sekitar 5-10 detik daripada Starlink.Â
Selain itu, kata Hendra, HAPS tidak hanya coverage data, tapi juga bisa menaruh kamera, sensor. Misal di daerah banjir, HAPS bisa memfoto titik-titik banjir di sebuah lokasi.
HAPS juga tidak perlu pakai parabola, langsung ke handphone, cukup dengan antena. Dan itu buat masyarakat atau pengguna internet lebih murah. "Ini sangat murah dibanding Starlink," jelasnya.
Â