5 Negara Ini Dilanda Badai Resesi, Intip Penyebabnya
- Unsplash
Jakarta, VIVA – Sejumlah negara besar harus menghadapi kenyataan pahit, yakni resesi. Penurunan produk domestik bruto (PDB) secara signifikan dalam dua kuartal berturut-turut menjadi indikator utama terjadinya resesi.
Pada tahun 2024, beberapa negara merasakan dampak langsung dari kondisi ekonomi global yang tidak stabil. Konflik geopolitik di Ukraina serta serangan Israel ke Iran yang menewaskan pemimpin Hamas Ismail Haniyeh turut mendorong terjadinya resesi.
Penyebab resesi di sejumlah negara adalah keputusan Federal Reserve AS (The Fed) mengatasi inflasi dengan menaikkan suku bunga telah memperlambat pertumbuhan ekonomi. Krisis energi turut berkontribusi mengakibatkan resesi. Dimana terjadi kenaikan harga energi sehingga meningkatkan biaya produksi dan mengurangi daya beli konsumen.
Melansir dari Business Day, berikut lima negara yang dilaporkan mengalami resesi pada tahun 2024.
1. Finlandia
Finlandia jadi negara pertama yang mengumumkan resesi pada tahun 2024. Perekonomian Finlandia yang terkenal dengan ketahanan dan inovasinya, telah mengalami tekanan akibat faktor eksternal.
Negara Nordik ini mencatat hasil PDB terus menurun dari kuartal-II yang mengalami kontraksi sebesar 0,9 persen. Kemerosotan terus terjadi sampai kuartal-III sebanyak 0,4 persen.
Perlambatan ekonomi global dan gangguan dalam perdagangan internasional berdampak buruk terhadap industri berorientasi ekspor nasional, terutama di sektor teknologi. Kondisi keuangan Finlandia semakin parah imbas kemerosotan ekonomi pada mitra dagang utamanya. Praktis, Finlandia kian terbebani dan sulit untuk bangkit.
2. Irlandia
Irlandia mengalami kemunduran PDB signifikan pada kuartal II dan III tahun 2023. Masing-masing mengalami kontraksi sebesar 1,9 persen dan 0,7 persen.
Hubungan dekat negara tersebut dengan Uni Eropa dan ketergantungan besar pada kegiatan ekspor (sektor farmasi dan teknologi) telah membuat keuangan Irlandia rentan terhadap ketidakpastian ekonomi global. Dampak pandemi COVID-19 dan kerumitan seputar Brexit semakin memperparah tantangan ekonomi Irlandia.
3. Jepang
Sebagai negara ekonomi terbesar ketiga di dunia, Jepang takluk dan menghadapi kontraksi 0,8 persen pada kuartal-II. Kemerosotan berlanjutan sebesar 0,1 persen pada kuartal-III tahun 2024.
Kemunduran ekonomi Jepang disebabkan menurunnya populasi yang menyusut selama 14 tahun berturut-turut.
Menurut Kepala Ekonom UBS Global Wealth Management Paul Donovan tren demografi itu menghambat prospek pertumbuhan Jepang karena populasi yang lebih kecil mengakibatkan penurunan produksi dan konsumsi. Penurunan belanja konsumen dan gangguan dalam rantai pasokan global telah berkontribusi secara signifikan terhadap tren resesi saat ini.
"Lebih sedikit orang yang memproduksi dan mengkonsumsi lebih sedikit barang," kata Donovan.
4. Inggris
Inggrsi juga mengalami kontraksi ekonomi sebesar 0,1 persen pada kuartal-11 dan 0,3 persen pada kuartal-III tahun 2024. Kemerosotan PDB memperjelas adanya perlambantan ekonomi di negara Ratu Elizabeth itu.
Ketidakpastian akibat Brexit dan populasi yang mempengaruhi perjanjian perdagangan dan akses pasar, ditambah dengan dampak COVID-19 sontak mengganggu bisnis dan kepercayaan investor.
Sektor-sektor utama seperti perhotelan, pariwisata, dan ritel menghadapi tantangan paling berat akibat pembatasan wilayah dan gangguan rantai pasokan. Sektor jasa yang sangat penting bagi perekonomian Inggris, sangat terpukul oleh pekerjaan jarak jauh dan perubahan perilaku konsumen.
Sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia, Amerika Serikat turut merasakan dampak resesi. Kenaikan suku bunga agresif oleh Federal Reserve yang bertujuan untuk meredam inflasi justru menimbulkan risiko memicu resesi.
Resesi AS juga disebabkan meningkatkan jumlah pengangguran. Dikutip dari The Economic Times, data ketenagakerjaan mengungkapkan perlambatan pertumbuhan pekerjaan dari 179.000 pada Juni menjadi 114.000 per Juli 2024. Hali itu memicu kekhawatiran bahwa ekonomi AS mungkin sedang bergerak menuju resesi.
Ekonomi negara Paman Sam makin goyah lantaran perusahaan-perusahaan di AS dan Kanada terus melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Resesi di AS juga tertekan nilai asuransi rumah yang terus melonjak.