Atasi Keterbatasan Lahan, Pemerintah Didorong Fokus Kembangkan Hunian TOD
Jakarta, VIVA – Model pembangunan berorientasi transit (TOD) seperti kolaborasi Perumnas dengan PT Kereta Api Indonesia (PT KAI), dinilai sebagai sebuah terobosan dalam menghadirkan hunian yang terjangkau dan terintegrasi dengan transportasi umum.
Karenanya, konsultan properti, Lukito Nugroho mengatakan, pemerintah pun harus fokus dalam upaya pengembangan hunian berkonsep TOD tersebut, sebagai sebuah solusi masalah hunian khususnya di wilayah perkotaan.
Dia mencontohkan, status hak kerja sama antara Perumnas dan PT KAI tersebut adalah HGB di atas HPL dengan masa 50 tahun, dan dapat diperpanjang hingga 30 tahun. Sehingga, pemilik mendapatkan jaminan selama masa HGB berlaku.
"Apabila ada inisiasi pengembangan baru sebelum masa HGB berakhir, tentu saja pemerintah atau pengembang harus memberikan ganti rugi yang wajar dengan harus disetujui bersama dengan PPRS," kata Lukito dalam keterangannya, Senin, 29 Juli 2024.
Lukito menilai, model ini juga sudah diterapkan di Singapura, Malaysia, dan Hong Kong, dengan masa HGB selama 30 tahun hingga 99 tahun. Menurutnya, hal ini tidak berbeda jauh dengan yang berlaku di Indonesia yang selama 80 tahun.
"Tidak dibedakan antara status kepemilikan properti di kawasan TOD dan non-TOD. Jadi secara prinsip tidak berbeda antara Indonesia dan negara lain, khususnya di Asia," ujarnya.
Melihat benefit yang diberikan oleh konsep TOD, Lukito pun mendorong pemerintah memberikan insentif. Di mana, pemerintah dapat membuka lelang untuk hak pengelolaan tanah, untuk mendapatkan rencana pengelolaan lahan terbaik dari pengembang.
"Hasil dari pembelian hak oleh pengembang dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan sarana transportasi umum. Model ini sebelumnya telah dilakukan di Hong Kong," kata Lukito.
Dia menekankan, pemerintah harus memberikan insentif yang menarik bagi pengembang untuk mengembangkan hunian, dan tidak hanya untuk yang komersial. Misalnya kebijakan peruntukan lahan, dengan KLB yang lebih tinggi untuk residential. Hal itu mengingat keterbatasan lahan di Jakarta, sehingga mungkin rusun yang ada dapat dibongkar dan dibangun lagi dengan intensitas yang lebih tinggi.
"Tentu saja dengan merelokasi atau memberikan ganti rugi yang wajar kepada pemilik. Hal ini sudah sering dilakukan di Singapura, istilahnya enbloc redevelopment," ujarnya.