Era Rupiah Menguat Semakin Dekat! Simak Cara BI Jalankan Operasi Moneter
- VIVA.co.id/Fikri Halim
Sumba – Bank Indonesia (BI) optimistis nilai tukar rupiah bakal kembali menguat terhadap dolar AS di akhir 2024. Hal itu seiring dengan suku bunga bank sentral AS atau The Fed yang telah mencapai puncaknya, sehingga berpotensi besar mengalami penurunan di tahun ini.
Kepala Grup Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas (DPMA) BI, Ramdan Denny Prakoso menceritakan pergerakan suku bunga The Fed atau Fed Fund Rate (FFR) sebelum Covid-19 hanya berada di 0,25 persen. Namun, ketika pascaCovid-19 hingga saat ini berada di level 5,25 persen. "Kalau itungan matematika itu kenaikannya 2000 persen. Nah itu sudah sampai peak (puncak)-nya," kata Denny dalam Editor Briefing di Waingapu, Sumba Timur dikutip Selasa, 23 Juli 2024.
The Fed diperkirakan akan melakukan penurunan suku bunga setidaknya satu kali pada tahun ini. Paling tidak, lanjut Denny, ada potensi penurunan di akhir tahun. “Ada perkiraan di November walaupun kita mendengar, ada kemungkinan di September," kata Denny.
Meski ada kemungkinan penurunan, BI menegaskan tetap hati-hati dan siap menyikapi apapun keputusan The Fed dengan berbagai skenario kebijakan. "Tetap artinya, tidak bisa kita wah September (turun). Kita tipikalnya hati-hati, kalau September (turun) kita senang, kalau tidak, kita juga harus siap (dengan berbagai kebijakan)," katanya.
Denny melanjutkan, di periode penurunan suku bunga The Fed ini akan terjadi terjadi risk off. Negara-negara emerging market bakal ketiban aliran modal asing atau capital inflow yang lebih besar.
Penguatan Rupiah Terbuka Lebar
Denny melanjutkan, Indonesia memiliki Fundamental ekonomi yang kuat. Hal ini terbukti dari inflasi yang terkendali di level 2,51 persen, neraca pembayaran Indonesia yang tetap sehat, neraca perdagangan surplus, dan perekonomian yang tumbuh positif di atas 5 persen. Selain itu, cadangan devisa yang cukup tinggi sebesar 140,2 miliar dolar AS per Juni 2024,
"Dengan bacaan seperti ini, potensi penguatan Rupiah akan sangat terbuka. Kalau negara yang tidak punya fundamental ekonomi sebagus Indonesia, itu tidak akan mendapatkan capital inflow," imbuhnya.
Fundamental ekonomi Indonesia yang kuat ini juga menggambarkan bahwa koordinasi otoritas fiskal dan moneter itu cukup solid.
"Ini jadi modal yang cukup bagus untuk memungkinkan kita berlari kencang, ketika nanti ketidakpastian di pasar global itu rendah," katanya.
Operasi Moneter Pro Market
Denny menjelaskan, BI menjalankan kebijakan operasi moneter pro market. Dalam kebijakan ini, BI ikut mendukung pengembangan pasar uang.
"Karena ketika pasar keuangan kita berjalan dengan baik, itu akan menciptakan efisiensi di pasar uang dan sangat membantu transmisi kebijakan moneter kita," katanya.
Operasi moneter ini dilakukan melalui 4 hal. Pertama, yaitu 'product' yang dilakukan dengan berbagai instrumen, seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valuta Asing Bank Indonesia (SVBI), Sukuk Valuta Asing Bank Indonesia (SUVBI), Repurchase Agreement (Repo) dan Domestic Non Deliverable Forward (DNDF).
Selain produk, BI juga melakukan mengatur participant yaitu primary dealer di pasar uang dan valas. Kemudian, di sisi 'price', melakukan pembentukan harga yang efisien. Lalu di 'infrastructure' dengan pengembangan Financial Market Infrastructure - Sistem Pembayaran (FMI-SP).
"Dengan berbagai bauran kebijakan Gubernur, kami meyakini di triwulan 4 (penguatan rupiah) akan lebih dari ini. Kita akan lihat inflow dan ketidakstabilan global akan mulai membaik," katanya.
Memang, lanjut Denny, rupiah secara year to date melemah di angka 4,8-4,9 persen. Namun, rupiah masih lebih terkendali pelemahannya dibanding mata uang lain.
“BI tetap komit menjaga bagaimana nilai tukar kita, terakhir kita ytd kita melemah 4,8-4,9 persen. Tapi kita lebih baik, dari Filipina dan Thailand, juga Korea won itu masih di bawah rupiah, bahkan teman-teman dari (Yen) Jepang itu juga pelemahannya cukup besar,” katanya.
Setidaknya, ada dua indikator yang memengaruhi pasar keuangan dunia saat ini. Dua indikator tersebut adalah indeks dolar AS dan yield Treasury AS.
“Dua indikator ini yang memengaruhi keuangan pasar seluruh dunia. Jadi dari dinamika inflasi dan ujung-ujungnya nanti akan kelihatan bagaimana indeks dolarnya. Semakin kita familiar, semakin mudah melakukan analisis di pasar keuangan,” jelas Denny