Kemenperin Wanti-wanti China Surplus Produk Tekstil Bidik RI Jadi Pasar Utama
- ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
Jakarta – Kementerian Perindustrian membeberkan kondisi pasar tekstil global yang terjadi saat ini, yang telah turut memberikan tekanan bagi industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di dalam negeri dalam beberapa waktu terakhir.
Plt Dirjen Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kemenperin, Reny Yanita menjelaskan, pihaknya memberikan perhatian pada surplus produksi dalam negeri China, yang memaksimalkan pasar luar negerinya di mana Indonesia menjadi salah satu tujuan utama.
"Nah, ini juga yang menyebabkan kenapa pertumbuhan kita melambat, kemudian juga terjadinya impor luar biasa karena memang di China sedang surplus untuk produksi TPT ini," kata Reny dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Selasa, 9 Juli 2024.
Hal itu menurutnya berdampak pada kenaikan impor TPT sejak bulan Mei 2024 menjadi 194,87 ribu ton, dari semula 136,36 ribu ton pada April 2024. Terlebih, terbitnya Permendag No. 8/2024 pada 17 Mei 2024 lalu, dinilai turut menjadi penyebab dari kondisi tersebut.
Padahal, efektivitas pengendalian impor sebenarnya sudah terlihat dari turunnya volume impor sebelum dan setelah pemberlakuan Permendag No. 36/2024. Dimana, impor Januari yang mencapai 206,30 ribu ton dan Februari 2024 yang sebesar 166,76 ribu ton, sudah berhasil ditekan menjadi 143,49 ribu ton di bulan Maret dan 136,36 ribu ton di bulan April 2024.
"Jadi terbitnya Permendag No 8/2024 pada tanggal 17 Mei 2024 lalu yang merelaksasi impor TPT, menyebabkan impor TPT kembali naik pada bulan Mei menjadi 194,87 ribu ton dari semula hanya 136,36 ribu ton pada April tahun 2024. Ini juga menjadi catatan bersama untuk kita," ujar Reny.
Tak hanya itu, kondisi pasar tekstil dunia juga diperparah dengan permasalahan geopolitik global, yang berimplikasi pada penurunan permintaan pakaian jadi dan alas kaki dari negara tujuan ekspor Indonesia khususnya untuk Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Selain itu, ada pula negara-negara seperti India, Turki, dan Vietnam, yang menerapkan restriksi perdagangan melalui kebijakan trade remedies seperti anti-dumping dan safeguard. Serta, kebijakan non-tariff barrier seperti penerapan quality control order (QCO) oleh India, utamanya untuk produk Viscose Staple Fiber (VSF) dan alas kaki.
"Dan ada pula permasalahan berikutnya terkait dengan TPT ini, yaitu kerjasama perdagangan IEU-CEPA (Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement) kita yang belum ditandatangani. Jadi harapannya, ketika IEU-CEPA ini ditandatangani untuk produk TPT, kita bisa mendapatkan referensi tarif untuk masuk ke negara-negara IEU-CEPA ini," ujarnya.