Tokoh Hindu di Bali Mayoritas Tak Mau Bisnis Tambang dari Pemerintah
- Istimewa
Jakarta - Mayoritas elemen organisasi kemasyarakatan Hindu di Bali berharap Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), sebaiknya tidak mengambil bisnis di wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK). Diketahui, pemerintah memberikan izin usaha pertambangan untuk ormas keagamaan.
Hal itu berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Batu Bara, yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Adapun, tokoh Hindu di Bali yang menyatakan sikap agar tidak masuk sektor bisnis tambang dari pemerintah yakni Putu Dika Dedi Suatra dari KMHDI (Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia), Putu Dicky Mersa dari DPP PERADAH (Persatuan Pemuda Hindu) Indonesia Provinsi Bali), Arya Gangga dari PANDBTK (Pasemetonan Agung Nararya Dalem Benculuk Tegeh Kori).
Lalu, Guru Gede Widnyana dari Maha Warga Bujangga Wesnawa, Guru Ketut Darmika, Wayan Sukayasa dan Wayan Suyadnya dari Sabha Walaka PHDI Pusat. Selain itu, Ketut Wartayasa dari Paruman Walaka PHDI Bali, Sekretaris PHDI Bali Putu Wirata Dwikora, serta Anggota Sabha Walaka PHDI Pusat, I Wayan Sudirta yang juga Anggota Komisi III DPR RI.
Menurut Wayan Sudirta, berdasarkan data dan fakta yang gamblang bahwa problem pertambangan itu kompetisinya sangat keras. Contohnya, kata dia, seorang konglomerat tambang yang merasa kuat itu akhirnya masuk penjara karena berkonflik dengan investor tambang yang lebih kuat lagi.
Padahal, Sudirta mengaku telah menyarankan konglomerat tersebut untuk berdamai dengan konglomerat yang disebutnya lebih kuat itu. Hal itu disampaikannya untuk menggambarkan sektor pertambangan yang sedemikian keras dan kejam.
“Belum lagi dalam realitasnya, lahan bekas tambang yang ditinggalkan begitu saja, padahal seharusnya direklamasi,” kata Wayan Sudirta melalui keterangannya pada Minggu, 30 Juni 2024.
Selain itu, Wayan menyinggung kasus dugaan korupsi pengelolaan timah di Bangka Belitung yang nilai kerugiannya secara ekologis dikalkulasi sampai Rp300 triliun oleh Kejaksaan Agung. “Kami sarankan agar PHDI jangan masuk bisnis pertambangan ini,” ujar Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) ini.
Sebaiknya, kata dia, PHDI bergerak bisnis di sektor yang sifatnya pelayanan seperti penerbitan buku atau pelayanan rumah sakit. Menurut dia, bisnis sektor pelayanan tersebut minim risiko dan tidak masalah tentunya.
“Kami mewanti-wanti untuk tidak masuk ke sektor pertambangan yang kesempatannya terbuka melalui regulasi terbaru pemerintah. Kami harap PHDI tidak mengambil peluang bisnis di sektor tambang itu, karena ada yang membeikan masukan supaya mendengar pihak pemerintah secara lebih jelas dan tegas,” ungkapnya.
Sekretaris PHDI Bali, Putu Wirata Dwikora mengatakan beberapa masukan dari para tokoh menginginkan agar tidak masuk ke bisnis tambang, walaupun diberikan peluang khusus untuk mengelola tambang dari pemerintah.
Alasannya, kata dia, untuk menjaga posisi moral lembaganya sebagai pengayom umat, termasuk umat yang mengadu kepada majelisnya untuk meminta perlindungan dan advokasi karena merasa menjadi korban eksploitasi tambang.
“Ada yang beralasan, tidak memiliki kompetensi dan khawatir terjadi benturan dengan masyarakat adat yang menguasai lahan-lahan yang potensial untuk dieksploitasi tambangnya. Sebagai pengayom umat, aspirasi-aspirasi yang telah disampaikan beserta alasan, data dan argumennya, kewajiban kami di PHDI Bali untuk memutuskan, apa sikap yang paling mencerminkan aspirasi mayoritas, beserta argumen-argumennya,” pungkasnya.