Wacana Perpanjangan Restrukturisasi Kredit, Ini Komentar Dirut BRI
- Dok. BRI
Hong Kong – Pemerintah melontarkan wacana untuk memperpanjang kebijakan relaksasi kredit terdampak pandemic Covid-19. Presiden telah meminta agar restrukturisasi kredit diperpanjang hingga 2025.
Kebijakan relaksasi berupa restrukturisasi kredit sebelumnya telah berakhir pada 31 Maret 2024. Kebijakan itu diambil untuk membantu perusahaan-perusahaan yang kesulitan sebagai dampak pandemi Covid-19 yang menghantam seluruh dunia pada 2020 hingga 2022, dan dampaknya masih terasa hingga saat ini.
Selain membantu perusahaan yang kesulitan, kebijakan relaksasi itu juga untuk membantu perbankan agar terhindar dari kredit macet.
Selang tiga bulan sejak berakhirnya beleid relaksasi tersebut, kini muncul kembali wacana untuk kembali menerapkan restrukturisasi kredit hingga tahun depan.
Menanggapi wacana tersebut, Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI) Sunarso menanggapi, bahwa pihaknya siap melaksanakan kebijakan perpanjangan restukturisasi kredit tersebut jika sudah dituangkan dalam kebijakan.
“Apabila rencana itu (perpanjangan restrukturisasi kredit) sudah dituangkan dalam bentuk peraturan, dalam hal ini peraturan OJK (Otoritas Jasa Keuangan), tentunya BRI akan siap melaksanakan,” ujarnya singkat, saat ditemui di Hong Kong, Kamis 27 Juni 2024.
Restrukturisasi kredit yang diterbitkan sejak awal 2020 telah banyak dimanfaatkan oleh debitur terutama pelaku UMKM. Stimulus restrukturisasi kredit merupakan kebijakan yang sangat penting untuk menopang kinerja debitur, perbankan, dan perekonomian secara umum untuk melewati periode pandemi.
Mengutip data OJK, selama empat tahun implementasi, pemanfaatan stimulus restrukturisasi kredit telah mencapai Rp 830,2 triliun, yang diberikan kepada 6,68 juta debitur. Sebanyak 75 persen dari total debitur penerima stimulus adalah segmen UMKM, atau sebanyak 4,96 juta debitur dengan jumlah kredit yang direstrukturisasi Rp 348,8 triliun.
Namun, kalangan ekonom mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati jika berencana memperpanjang restrukturisasi kredit. Salah satunya disampaikan ekonom senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Aviliani, di Jakarta, Selasa, 25 Juni 2024.
Menurut Aviliani, stimulus restrukturisasi kredit yang terlalu lama bisa menciptakan moral hazard. Sebab, dalam kondisi pasca-pancemi saat ini, tidak semua debitur perlu diberikan stimulus restrukturisasi.
Selain itu, lanjutnya, jika kebijakan restrukturisasi kredit kembali diperpanjang, berpotensi akan merugikan bank. Sebab, perbankan harus menurunkan bunga kredit saat nasabah meminta restrukturisasi kredit.