2 Investor Proyek Sonic Bay Senilai Rp 42,64 Triliun Hengkang, Begini Respons BKPM

Gedung Kementerian Investasi/BKPM.
Sumber :
  • istimewa

Jakarta – Dua investor fasilitas pemurnian nikel dan kobalt atau disebut juga proyek Sonic Bay di Teluk Weda, Maluku Utara menyatakan mundur dari rencana investasinya. Keduanya adalah BASF yang merupakan perusahaan kimia asal Jerman, dan Eramet yang merupakan perusahaan tambang asal Perancis.

InspiraFest Day to Grow 2024 Kolaborasi dengan John C. Maxwell, Hadirkan Merry Riana Hingga AHY

Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM, Nurul Ichwan mengaku, pemerintah sebelumnya sudah mengetahui mengenai keputusan mundur kedua investor dari proyek Sonic Bay tersebut.

"Keputusan tersebut tidak menurunkan minat investor asing untuk menanamkan modalnya pada sektor hilirisasi di Indonesia," kata Nurul dalam keterangannya, Kamis, 27 Juni 2024.

OJK Ungkap Transaksi Kripto September Melambat Gegara Dinamika Global

Ilustrasi Smelter nikel.

Photo :
  • vstory

BASF dan Eramet diketahui telah memiliki legalitas usaha atas nama PT Eramet Halmahera Nikel (PT EHN) untuk mengembangkan proyek Sonic Bay dengan investasi senilai US$2,6 miliar atau setara Rp 42,64 triliun triliun (kurs di Kawasan Industri Teluk Weda, Maluku Utara. Proyek ini berupa pembangunan pabrik pemurnian nikel dengan teknologi High Pressure Acid Leach (HPAL), yang menghasilkan Mixed Hydroxide Precipitates (MHP). 

Ajaibnya Baterai Neta X yang Dibuat di Indonesia

Nurul mengatakan, keputusan BASF dan Eramet untuk membatalkan investasinya adalah keputusan bisnis yang diperoleh  setelah melakukan berbagai evaluasi.

"Kami dari awal terus mengawal rencana investasi ini. Namun pada perjalanannya, perusahaan beralih fokus sehingga pada akhirnya mengeluarkan keputusan bisnis membatalkan rencana investasi proyek Sonic Bay ini," ujar Nurul.

Mundur karena Kondisi Pasar Nikel yang Berubah Signifikan

(Foto Ilustrasi). Bijih nikel mental yang siap diolah menjadi feronikel

Photo :
  • Antara

Berdasarkan keterangan resmi perusahaan, keputusan BASF dan Eramet untuk tidak meneruskan rencana investasi didasarkan pada pertimbangan akan perubahan kondisi pasar nikel yang signifikan, khususnya pada pilihan nikel yang menjadi suplai bahan baku baterai kendaraan listrik. Sehingga, BASF memutuskan bahwa tidak ada lagi kebutuhan untuk melakukan investasi suplai material baterai kendaraan listrik.

"Kami melihat hilirisasi untuk ekosistem baterai kendaraan listrik masih sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Apalagi, baru-baru saja Indonesia mendapat peringkat 27 pada World Competitiveness Ranking (WCR) 2024. Top 3 terbaik di wilayah ASEAN," ujarnya 

Diketahui, pemerintah masih meyakini bahwa minat investor asing di sektor hilirisasi tetap tinggi. Bahkan beberapa proyek investasi di sektor tersebut telah mencapai tahap realisasi. Sebagai contoh, proyek smelter tembaga terbesar di dunia milik PT Freeport Indonesia di Gresik, Jawa Timur, telah resmi beroperasi mulai 27 Juni 2024

Bukti nyata lainnya yakni produksi massal baterai kendaraan listrik pertama di Indonesia, yang akan dimulai oleh PT Hyundai LG Indonesia (HLI) Green Power di Karawang, Jawa Barat, pada Juli 2024 dan akan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya