Rupiah Melemah ke Rp 16.400/Dolar AS, Sri Mulyani Ungkap Biang Keroknya

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati
Sumber :
  • VIVA.co.id/Anisa Aulia

Jakarta – Nilai tukar rupiah terhadap dolara AS beberapa waktu belakangan ini mengalami pelemahan. Bahkan rupiah kini sudah mencapai level Rp 16.000 per dolar AS.

Sri Mulyani: Belanja Bansos hingga Mei 2024 Naik 12,7 Persen Jadi Rp 70,5 Triliun

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, penyebab melemahnya rupiah itu dikarenakan kekecewaan pasar terhadap kebijakan suku bunga bank sentral AS, Federal Reserve atau The Fed. Sri Mulyani mengatakan, pada bulan Mei ini rupiah sudah mencapai level Rp 16.431 per dolar AS. Hal ini disebabkan oleh sentimen dari pasar keuangan global dan domestik. 

Dari sisi pasar keuangan global jelasnya, pelemahan ini karena semakin terkonfirmasinya bawa suku bunga The Fed tidak akan turun seperti yang diharapkan pasar, sebanyak empat hingga lima kali. 

Waspadai Eskalasi Konflik Antar Negara, Sri Mulyani: AS hingga Korea Sudah Ambil Langkah Preemtif

"Market dalam hal ini mengharapkan adanya penurunan empat hingga lima kali pada tahun ini namun, ternyata FFR masih mengalami posisi yang stabil di 5,5 persen dan tidak terjadi tanda-tanda bahwa mereka akan segera menurunkan. Bahkan yang paling optimis penurunannya hanya satu kali pada tahun ini. Ini yang menyebabkan ekspektasi market yang kecewa atau tidak tersampaikan," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTA, Kamis, 27 Juni 2024.

Lembaran mata uang rupiah dan dolar AS di Jakarta.

Photo :
  • ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Pendapatan Negara Turun 7,1 Persen di-Mei, Sri Mulyani: Kita Monitor dan Waspadai

Bendahara Negara ini menyebut, ekspektasi dari pasar itu lah yang menjadi salah satu penyebab menguatnya dolar AS. Sehingga rupiah mengalami depresiasi.

Sri Mulyani mengatakan, saat ini rupiah mengalami depresiasi sebesar 6,58 persen secara year to date (ytd). Namun, menurutnya rupiah masih lebih baik dibandingkan nilai tukar negara-negara berkembang lainnya.

"Kita lihat seperti Brazil depresiasinya jauh lebih dalam, atau kalau anda sekarang baru mengikuti Jepang mengalami depresiasi yang sangat dalam bahkan pada levelnya sudah temperable dengan 1986," imbuhnya. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya