Indef Beberkan Sederet Masalah Ekonomi Era Jokowi yang Diwariskan ke Pemerintahan Prabowo

Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti
Sumber :
  • VIVA.co.id/Mohammad Yudha Prasetya

Jakarta – Institute for Development of Economics and Finance (Indef) membeberkan sederet masalah ekonomi di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang harus ditangani oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto di pemerintahan selanjutnya.

Anindya Bakrie Respons Rencana Prabowo Hapus Utang Petani-Nelayan

Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti menjelaskan, masalah pertama yakni perihal menurunnya kualitas pertumbuhan ekonomi, sehingga konsumsi rumah tangga cenderung selalu menjadi 'backbone' bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

"Padahal mesin-mesin pertumbuhan ekonomi tidak hanya dari aspek konsumsi rumah tangga saja, melainkan ada investasi, ekspor, belanja pemerintah, pajak, sekaligus transfer daerah," kata Esther dalam acara Kajian Tengah Tahun Indef 2024: 'Presiden Baru, Persoalan Lama' dikutip Rabu, 25 Juni 2024.

Instruksi Prabowo ke Menterinya: Jangan Terlalu Banyak Jalan-jalan ke Luar Negeri

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Jumat, 21 Juni 2024

Photo :
  • VIVA.co.id/Yeni Lestari

Masalah lainnya yakni soal tergerusnya daya beli masyarakat, di tengah kebijakan fiskal yang ketat saat ini. Terlebih, presiden terpilih Prabowo Subianto juga sudah menargetkan kenaikan rasio penerimaan negara menjadi 23 persen. "Sehingga tentunya generate income pajak juga harus ditingkatkan," ujarnya.

Anindya Dukung Instruksi Prabowo soal Pengusaha Sisihkan Uang Buat Bantu Anak Sekolah

Masalah selanjutnya yakni terkait kebijakan moneter yang ketat, yang ditandai dengan tingkat suku bunga yang terus naik serta nilai tukar rupiah yang berfluktuasi pada kisaran level Rp 16.400 per US$. "Sehingga, kondisi ekonomi yang relatif sulit ini akan menjadi awalan bagi pemerintahan presiden baru nanti," kata Esther.

Selain itu, persoalan turunnya fleksibilitas fiskal rasio pajak yang hanya di kisaran 8-10 persen terhadap PDB, juga terjadi seiring rasio utang yang mencapai 38 persen terhadap PDB. Hal itu masih ditambah dengan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen, dan membuat ruang fiskal relatif lebih sempit.

"Maka ke depan, mau tidak mau generate more income atau revenue state harus terus diupayakan," ujar Esther.

Selanjutnya, penurunan performa industri manufaktur juga terjadi, seiring terdepresiasinya Rupiah yang membuat impor bahan baku menjadi lebih berat bagi para pelaku industri di dalam negeri.

Hal itu masih ditambah dengan masalah pada fungsi intermediasi keuangan, yakni berupa terbatasnya penyaluran kredit hanya bagi sejumlah sektor usaha saja. Sehingga, margin bunga bersih atau net interest margin (NIM) perbankan juga masih relatif tinggi.

"Apalagi dengan adanya kebijakan tingkat suku bunga tinggi dan nilai tukar rupiah yang sangat volatil, tentu hal itu juga akan menjadi beban bagi pemerintahan presiden terpilih," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya