Pembatalan Pencabutan Izin Kresna Life Dinilai Jadi Preseden Buruk Industri Asuransi
Jakarta – Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta yang menolak banding pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atas gugatan terhadap pencabutan izin usaha PT Asuransi Jiwa Kresna alias Kresna Life, disebut sebagai sebuah preseden buruk bagi industri asuransi Tanah Air.
Dalam putusan PTUN Jakarta Nomor 238/B/2024/PT.TUN.JKT yang dibacakan pada 14 Juni 2024, majelis hakim yang dipimpin Budhi Hasrul memutuskan bahwa pencabutan izin usaha Kresna Life oleh OJK pada 23 Juni 2023 dibatalkan.
Pengamat Sektor Keuangan sekaligus Guru Besar Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Budi Frensidy, lantas mempertanyakan putusan PTTUN tersebut.
"Karena bos Kresna Life, Michael Steven, justru bisa menggugat OJK di tengah statusnya yang masih tersangka. Padahal, Dda tengah dikejar OJK untuk membayar ganti rugi atas gagal bayar korban Kresna Life," kata Budi dalam keterangannya, Senin, 24 Juni 2024.
Dia menilai, putusan PTTUN itu jelas akan merugikan Pemerintah dan para nasabah pemegang polis. Apalagi, Budi menilai bahwa pemerintah, dalam hal ini OJK, telah melaksanakan tugasnya melakukan pengawasan dan perlindungan kepada para nasabah.
"Jadi kita mempertanyakan bahwa dalam hal ini Polisi belum melakukan aksi tangkap dia, kemudian pada saat yang sama kenapa pengadilan berpihak kepada dia. Ini kan enggak masuk akal karena ini merugikan masyarakat, bukan hanya merugikan pemerintah," ujarnya.
Budi mengatakan, keputusan OJK untuk mencabut izin Kresna Life sudah berdasarkan perhitungan laporan keuangan. Menurutnya, dibatalkannya pencabutan izin Kresna Life justru menjadi preseden buruk bagi industri asuransi.
"Iya bisa jadi (preseden buruk). Saya sepakat bahwa OJK melakukan pengawasan. Karena memang bermasalah sekali (Kresna Life) dalam indikator dan rasio-rasio yang harus dipenuhi," kata Budi.
Selain itu, lanjut Budi, Kresna Life juga sebenarnya sudah diberikan kelonggaran oleh OJK sebelum pencabutan izin tersebut dilakukan. "Tapi kan ternyata si pemilik, pemegang saham pengendali itu tidak melakukan top up ya, enggak bisa dengan pinjaman dan subordinate loan atau apa pun juga," ujar Budi.
Dia menjelaskan, nasabah juga semakin dirugikan dengan batalnya pencabutan izin Kresna Life. Adapun kondisi keuangan Kresna Life sudah sangat memburuk, ditandai dengan solvabilitas yang tidak mencapai 100 persen dan RBC yang jauh di bawah 120 persen.
Namun saat itu, pemilik Kresna Life justru mengajukan penerbitan subordinated loan (SOL) yang tidak disetujui oleh pemegang polis, sehingga pemegang saham tidak melaksanakan kewajibannya memenuhi ketentuan menyehatkan perusahaan.
"Ujung-ujungnya saya pikir ya kalau dia menurunkan subordinat loan, kemudian prioritas nanti likuidasinya para kreditur, nasabah kan semakin dirugikan, semakin enggak jelas," ujarnya.
Diketahui, sebelumnya Bareskrim Polri pada September 2023 telah menetapkan Michael Steven sebagai tersangka kasus gagal bayar, di perusahaan terafiliasi PT Kresna Sekuritas. Adapun kasus gagal bayar investasi itu terjadi di PT Kresna Sekuritas, PT Pusaka Utama Persada (PUP), dan PT Makmur Sejahtera Abadi (MSA). Ketiga perusahaan tersebut berada di bawah kendali Michael sebagai penerima manfaat akhir.
Disebutkan, Michael mengarahkan Kresna Sekuritas memfasilitasi pencarian pendanaan oleh PUP dan MSA melalui penawaran program equity link agreement, serta jual beli gadai saham ke nasabah. Program itu diketahui telah berlangsung sejak 2017 dan meraup dana sebanyak Rp 337,40 miliar.