RI Bakal Punya PLTN Kapasitas 250 MW di Tahun 2032
- Pixabay.
Jakarta – Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah merestui pemanfaatan energi nuklir, sebagai salah satu bakal sumber energi guna menopang kebutuhan listrik nasional. Hal itu diungkapkan Pengamat Energi sekaligus Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha.
Satya memastikan bahwa keputusan pemanfaatan energi nuklir tersebut bahkan sudah disepakati oleh sejumlah pemangku kepentingan lintas sektoral.
"Dalam kapasitas saya sebagai anggota DEN waktu itu, jadi nuklir itu sudah disepakati lintas sektor," kata Satya dalam diskusi bertajuk 'Masa Depan Industri Batubara di Tengah Tren Transisi Energi', di kawasan Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis, 13 Juni 2024.
Satya mengatakan bahwa DEN pun langsung menyusun peta jalan transisi energi, yang menargetkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dengan kapasitas 250 MW agar bisa beroperasi pada tahun 2032 mendatang.
"Lantas kita cari skenario yang paling memungkinkan, sehingga di tahun 2032 akhirnya disepakati sudah bisa on-stream. Jumlahnya enggak besar, hanya 250 MW. Tapi nanti di tahun 2060 itu bisa sampai dengan 32 GW, besar sekali," ujarnya.
Dia menjelaskan alasan kenapa energi nuklir bisa masuk dalam wacana energi pemerintah. Sebab, dari total kebutuhan permintaan energi yang harus dipenuhi secara nasional, setidaknya hal itu membutuhkan sekitar 480 juta ton oil equivalent.
Padahal, kalaupun semua sumber daya energi yang dimiliki Indonesia saat ini digabung, maka hal itu masih belum sanggup memenuhi total kebutuhan permintaan energi yang harus dipenuhi secara nasional tersebut.
"Final energy demand kita itu sekitar 480 juta ton oil equivalent. Kalaupun semua sumber daya yang kita miliki dimasukkan, itu masih kurang. Misalnya Geothermal yang katanya memiliki potensi 24.000 MW kita eksploitasi full, lalu hydropower juga dieksploitasi full semua, itu masih belum cukup," kata Satya.
Satya menegaskan bahwa kebutuhan pemanfaatan energi nuklir di Tanah Air sejatinya bukanlah sesuatu yang diada-adakan. Hal itu menurutnya merupakan bagian dari upaya, untuk memenuhi gap kebutuhan final energy demand tersebut.
"Apalagi saat ini teknologi terkait nuklir sudah makin berkembang. Kalau dulu nuklir itu minimum 300 MW, tapi sekarang di bawah 50 MW juga bisa karena ada small modular reactor (SMR) dan PLTN terapung (floating nuclear power plant)," ujarnya.