Arcandra Tahar Ungkap Polemik AS dan IEA soal Rekomendasi Transisi Energi

[dok. Instagram @Arcandra.Tahar]
Sumber :
  • VIVA.co.id/Mohammad Yudha Prasetya

Jakarta – Mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar mengatakan, pada Maret 2024 lalu Komite Bidang Energi dan Sumber Daya Alam US Senate dan Komite Bidang Energi dan Perdagangan US Congress, telah melayangkan surat teguran kepada Direktur Eksekutif International Energi Agency (IEA).

AS Berniat Kirim Senjata Nuklir ke Ukraina, Rusia: Tindakan Gila

Hal ini dinilai tak lazim sebagaimana biasanya, karena kedekatan IEA dan AS selama ini memungkinkan AS memberikan nasehat kepada IEA, tanpa harus menulis surat secara terbuka seperti kali ini. Karenanya, muncul pertanyaan apakah ada hal yang sangat penting yang bisa membuat kebijakan energi AS terganggu?

Arcandra pun kemudian menjelaskan latar belakang berdirinya IEA di era krisis energi AS tahun 1973-1974, akibat embargo minyak oleh negara-negara produsen minyak dunia terutama Arab Saudi. Di mana, negara-negara industri maju yang tergabung dalam Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), yang selama ini sangat bergantung akan impor minyak, menjadi ikut terganggu dengan harga minyak yang tinggi ini.

8 Rekomendasi IAGL–ITB untuk Kemandirian Energi, Dany Amrul Dorong Peran Penting Kampus

Untuk menghadapi krisis energi ini, tahun 1974 OECD memprakarsai berdirinya IEA di Paris, dengan mandat utama untuk menjamin ketersedian suplai minyak dunia. Energy security yang berfokus pada minyak pun resmi menjadi misi utama dari IEA.

"Kebijakan-kebijakan dirancang agar krisis energi bisa dicegah sedini mungkin. Kerja sama antar negara juga dintensifkan agar supply dan demand bisa terjaga dengan baik," kata Arcandra dalam unggahan di Instagram pribadinya, Arcandra.Tahar, Rabu, 12 Juni 2024.

Hadiri Pertemuan dengan Menko Airlangga, Sekjen OECD: Keanggotaan Indonesia pada OECD Mendukung Visi Indonesia Emas 2045

Pada tahun 2015, IEA yang sangat fokus pada minyak bumi memperluas dan mengubah strateginya ke energy security beyond oil. Hal ini tentu tidak terlepas dengan ditunjuknya Direktur Eksekutif baru, Fatih Birol yang sangat concern terhadap isu-isu lingkungan. Di bawah kepemimpinan Fatih Birol, maka cepat atau lambat akan terjadi perbedaan dalam menyikapi energy security dan energy transition.

"Karena memang dua hal ini kelihatannya bisa saling mendukung, tapi pada situasi tertentu bisa saling bertentangan. Kenapa bisa?" ujarnya.

Pertamina Dukung Komitmen Transisi Energi Ramah Lingkungan.

Photo :

Secara bebas, kata Arcandra, kita bisa menterjemahkan energy security dengan kemampuan suatu negara dalam memenuhi kebutuhan energinya secara terus menerus dengan harga yang terjangkau. Sementara energy transition adalah suatu masa di mana kebutuhan energi manusia harus beralih dari energi fosil ke energi terbarukan.

Permasalahan muncul apabila kebijakan sebuah negara lebih fokus kepada pemenuhan kebutuhan energi secara terjangkau daripada beralih ke energi terbarukan. "Di sinilah kita bisa membaca secara tidak langsung apa yang menjadi kekhawatiran AS terhadap energy transition ini sehingga keluar surat teguran ke IEA," kata Arcandra.

Dia mengatakan, beberapa hal yang bisa kita pelajari secara tidak langsung dari surat Komite Bidang Energy Senate dan Congress AS ini adalah, pertama, beberapa rekomendasi dan kebijakan yang disarankan oleh IEA, ditengarai tidak lagi berdasarkan energy modelling yang berbasis data-data yang berimbang.

"Keberpihakan IEA kepada isu-isu perubahan iklim dan kurang mempertimbangkan data-data dari segi energi fosil mengakibatkan pembuat kebijakan di banyak negara bisa salah arah dalam implementasi transisi energi," ujarnya.

Kedua, rekomendasi IEA yang menyarankan untuk tidak lagi berinvestasi di oil dan gas, adalah sesuatu yang perlu dikaji ulang. Hal ini tentu tidak sejalan lagi dengan mandat yang diberikan oleh anggota OECD kepada IEA untuk menjamin ketersedian energi terutama minyak. Posisi IEA dalam masa energy transition ini dinilai bisa membahayakan keamanan suplai dari sumber energi fosil.

Ketiga, ketidakpercayaan Fatih Birol terhadap peran oil and gas dalam masa energy transition, berkembang menjadi isu leadership beliau dalam memberikan masukan yang tepat ke pembuat kebijakan di negara anggota IEA. Salah satu contoh akibat dari data-data yang dikeluarkan oleh IEA adalah, dimana The US Department of Energy memutuskan untuk menunda pemberian izin ekspor LNG untuk batas waktu yang tidak ditentukan.

"Untuk jangka pendek, penundaan izin ekspor LNG akan merusak iklim investasi di bidang LNG yang sedang berkembang pesat di AS. Untuk jangka panjang penundaan ini bisa membahayakan ketersedian LNG dimasa datang," ujar Arcandra.

Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar (kanan)

Photo :
  • ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Keempat, prediksi demand minyak dan gas ke depan yang dikeluarkan oleh IAE sangat jauh berbeda dengan organisasi lain seperti BP, ExxonMobil, OPEC dan Energy Economic di Jepang. Menurut IEA, pertumbuhan kebutuhan gas dunia hanya 4 persen dari tahun 2020-2050. Sementara organisasi lain memperkirakan antara 23-47 persen, sehingga perbedaannya sangat jauh.

"Dari semua yang kita pelajari di atas, yang paling mengkhawatirkan adalah kalau forecast kebutuhan minyak dan gas oleh IEA tidak akurat, sementara negara producer dan perusahaan energi dunia terlanjur mengurangi investasi. Akibatnya, kita akan kekurangan minyak dan gas yang bisa membuat harga tidak terkendali dalam masa transisi energi ini," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya