Cukai Hasil Tembakau Naik Tiap Tahun, Gaprindo Ungkap Efek Bergandanya
- ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Jakarta – Kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebesar double digit yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir, telah membuat Industri Hasil Tembakau (IHT) mengalami tekanan berat. Data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan mencatat, realisasi penerimaan negara dari segmen cukai yang berhasil dihimpun hingga April 2024, terkoreksi sekitar 0,5 persen secara year-on-year (yoy) menjadi Rp 74,2 triliun.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi menilai, hal ini antara lain turut dipicu oleh merosotnya penerimaan CHT, yang berkontribusi 96 persen dari keseluruhan penerimaan cukai.
"Kondisi ini dinilai turut memberikan efek berganda, seperti tergerusnya penerimaan negara hingga ancaman pemutusan hubungan kerja bagi pekerja," kata Benny dalam keterangannya, Senin, 10 Juni 2024.
Selain itu, kenaikan cukai rokok yang tinggi juga telah menekan produktivitas industri rokok nasional. Di tahun 2019, produksi rokok tercatat 357 miliar batang, namun di tahun 2023 turun ke 318 miliar batang.
"Produksi rokok putih turun dari 15 miliar batang sekarang sudah tinggal kurang dari 10 miliar batang," ujar Benny.
Secara nasional, IHT mengalami penurunan jumlah produksi dari 350 miliar batang ketika sebelum pandemi COVID-19, menjadi di bawah 300 miliar batang setelah pandemi. Benny menambahkan, kondisi penurunan produksi ini juga berdampak terhadap realisasi penerimaan negara dari CHT.
Hal ini ditunjukkan oleh tren penerimaan APBN yang menyusut dari periode sebelumnya. Dimana pada 2023, realisasi penerimaan negara dari CHT tercatat sebesar Rp 213,48 triliun. Nilai tersebut hanya mencapai 97,78 persen dari target APBN 2023.
"Padahal penerimaan cukai dari rokok selalu berada di kisaran 100 persen dari target, bahkan melebihi pada tahun-tahun sebelumnya," ujarnya.
Senada, Pengamat Kebijakan Publik, Bambang Haryo Soekartono menyampaikan, cukai rokok yang tinggi memiliki dampak berganda (multiplier effect) pada penghidupan masyarakat luas, seperti menggerus pemasukan UMKM yang berhubungan dengan rokok.
"Misalnya Warteg, Warkop, dan sebagainya itu sangat bergantung kepada penjualan rokok, Jadi, (kalau harga rokok mahal) mereka akan tergerus (pendapatannya) karena menurunnya kemampuan membeli rokok," ujarnya.