Investor Mulai Lirik Model Bisnis Crowd-Sourcing, Intip Keuntungannya
- VIVA.co.id/Mohammad Yudha Prasetya
Jakarta – Saat ini dunia bisnis ikut diramaikan dengan konsep bisnis melalui metode crowd-sourcing, sebagai suatu model bisnis yang lebih efisien dan profitabel. Hal itu antara lain karena model bisnis crowd-sourcing ini mengandalkan kontribusi dari banyak orang, dengan skill yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan perusahaan sehingga dianggap lebih efisien dan banyak menarik minat para investor.
Konsep bisnis berbasis crowd-sourcing ini misalnya sebagaimana yang sudah dijalankan oleh beberapa portfolio dibawah GDP Venture, di antaranya yakni oleh SweetEscape, Dekoruma, dan Garasi.id.Â
"Dengan menggunakan metode crowd-sourcing, kinerja bisnis diharapkan dapat mengurangi biaya, meningkatkan inovasi, dan mempercepat pengembangan produk atau layanan mereka," kata Chief Executive Officer (CEO) SweetEscape, David Soong, dalam diskusi di kawasan Senayan, Jakarta Selatan, Kamis, 6 Juni 2024.
SweetEscape adalah layanan fotografi global yang menghubungkan klien dengan ribuan fotografer profesional lokal, yang tersebar di 500 kota pada 5 benua di seluruh dunia. David memastikan, dalam penerapan model bisnis crowd-sourcing dalam model bisnisnya, maka para investor tentunya akan lebih untung dengan efisiensi yang bisa dilakukan oleh SweetEscape.
"Karena kalau semuanya harus di hire (rekrut) full time, bayangkan cost yang harus dikeluarkan untuk ribuan fotografer tersebut. Pasti enggak bakal untung karena biayanya kan jauh lebih besar. Maka solusi crowd-sourcing ini dinilai cocok oleh investor, karena variable expense sama variable demand-nya ketemu," ujarnya.
Hal senada juga diakui oleh Chief Executive Officer (CEO) Dekoruma, Dimas Harry Priawan. Dekoruma sendiri merupakan perusahaan berbasis teknologi, yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dalam semua proses industri home & living melalui bisnis vertikal yang terintegrasi.
Terkait penerapan model bisnis crowd-sourcing dalam model bisnisnya, Dimas mengakui bahwa dari sisi investor tentunya akan senang untuk menanamkan modalnya di Dekoruma dengan menggunakan skema tersebut.
"Dari point of view investor sih enggak ada yang bilang enggak happy, karena semuanya masih bilang bagus. Karena crowd-sourcing itu kan intinya untuk mengurai risiko dan alokasi modal," kata Dimas.
Hal yang paling penting menurutnya adalah bahwa pelaku usaha bisa membaca dari sudut pandang bisnis, perihal segmen, produk, serta market mana yang sebenarnya lebih menguntungkan.
Pada kesempatan yang sama, Chief Executive Officer (CEO) Garasi.id, Ardyanto Alam, juga membenarkan soal ketertarikan para investor pada model bisnis crowd-sourcing yang dinilai lebih efisien dan ekonomis tersebut.
"Investornya happy-happy aja sih. Soalnya customer kami udah 100 ribuan. Maka kalau untuk melayani para pelanggan Garasi.id di seluruh Indonesia, kita harus punya berapa kantor sama berapa orang lokal yang expertise di sana?" kata Ardy.
Selain soal efisiensi biaya, Ardy juga menegaskan soal kepercayaan yang sangat dipegang teguh oleh para konsumen Garasi.id, utamanya pada aspek ekspertise para teknisinya. Di mana untuk bengkel-bengkel yang berada di daerah-daerah tak sebesar Jakarta, seperti misalnya di Singkawang, konsumen biasanya terlebih dahulu harus melihat soal kualitas bengkel dan kinerja para teknisinya.
"Misalnya di Singkawang, itu bengkel yang reputable di sana mungkin cuma dua lho. Karena bengkel lain kan belum tentu cocok terutama buat para investornya. Jadi kalau ada customer di sana dan butuh kita layani dengan cepat, itu harus siap segala sesuatunya. Makanya sejak awal kita kerja sama, itu jelas. Transparan dan ada perjanjian kerja samanya," ujarnya.