Sri Mulyani Ungkap Ruang APBN untuk Bermanuver Sempit di tengah Gejolak Global
- VIVA.co.id/Mohammad Yudha Prasetya
Jakarta – Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menargetkan pertumbuhan ekonomi di tahun 2025 berkisar antara 5,1-5,5 persen secara year-on-year (yoy).
Hal itu seiring target inflasi antara 1,5-3,5 persen (yoy), nilai tukar Rupiah di kisaran Rp 15.300-Rp 16.000 per US$, dan suku bunga SBN 10 tahun yang berkisar antara 6,9-7,3 persen.
"Kami bersama Bank Indonesia terus berkoordinasi, bersinergi, karena ruang untuk bermanuver kita menjadi sangat menyempit akibat tren global yang volatile," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, terkait Asumsi Dasar Ekonomi Makro Tahun 2025, Rabu, 5 Juni 2024.
Dengan kondisi tersebut, Menkeu menegaskan tidak boleh ada kesalahan dalam komunikasi maupun kebijakan yang akan disinergikan dengan BI. Sebab, sinkronisasi dari dua kebijakan fiskal dan moneter sangat penting, dan menjadi perhatian para stakeholder utamanya dari para investor.
Perihal nilai tukar Rupiah di kisaran Rp 15.300-Rp 16.000 per US$ sebagaimana yang juga termaktub dalam KEM-PPKF, Menkeu memastikan tidak ada perubahan atau perbedaan karena masih akan terus dikoordinasikan dengan pihak BI.
"Saya paham kemarin Pak Gubernur (BI) menyampaikan lebih kuat sedikit, nanti mungkin bisa dijelaskan. Tapi ini tidak ada perubahan atau perbedaan, kami terus berkoordinasi dengan beliau dan dengan Bank Indonesia," ujarnya.
Sementara untuk yield suku bunga yang diputuskan antara 6,9-7,3 persen, Sri Mulyani memastikan bahwa hal itu merupakan bentuk langkah antisipatif. "Ini juga mengantisipasi higher for longer di tahun 2025," kata Sri Mulyani.
Dengan demikian, Menkeu memastikan bahwa Asumsi Dasar Ekonomi Makro 2025 dari Pemerintah melalui Kementerian Keuangan, yakni pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,1-5,5 persen, inflasi di 1,5-3,5 persen, nilai tukar Rupiah di kisaran Rp 15.300-Rp 16.000, dan suku bunga SBN 10 tahun di kisaran 6,9-7,3 persen.
"Sedangkan tiga asumsi lainnya yakni mengenai harga minyak, lifting gas dan minyak bumi, tidak dibahas di Komisi XI," ujarnya.