China Cuan Besar dari Nikel RI, Faisal Basri: Rakyat Sulawesi Menderita Kena ISPA
- vstory
Jakarta – Ekonom Senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri, membeberkan betapa besarnya keuntungan para pengusaha asal China yang berbisnis nikel di Indonesia, khususnya di wilayah Morowali dan Konawe (Sulawesi) hingga Halmahera (Maluku).
"Contohnya nikel, alih-alih kita meningkatkan kesejahteraan daerah, yang kita sejahterakan itu penduduk China. Ini nikelnya kan ada di daerah, ada di Morowali, Morowali Utara, Konawe, Halmahera, dan sebagainya," kata Faisal dalam telekonferensi di diskusi publik Indef, "Hari Lahir Pancasila; Ekonomi Sudah Adil Untuk Semua?", Selasa, 4 Juni 2024.
Dia mencontohkan, apabila nilai tambah nikel 100 dan setelah jadi feronikel jumlahnya 300, maka pengolahan yang dilakukan perusahaan China bisa meraih porsi hingga hampir 90 persen dari keuntungan nilai tambah tersebut.
"Nah dari nilai tambahnya itu yang lari ke (pemasukan) daerahnya berapa? Hampir nol. Nilai tambah yang tercipta dari 100 ke 300 itu, 90 persen lebih itu untuk China, untuk pihak Indonesianya kurang dari 10 persen," ujarnya.
Tak hanya itu, belum lagi soal subsidi yang diberikan pemerintah Indonesia kepada smelter-smelter yang dioperasikan perusahaan asal China, yang tentunya sudah mendapatkan fasilitas tax holiday dan subsidi. Karena perusahaan asal China itu membangun, memproduksi, dan mengoperasikan smelter yang menggunakan tenaga listrik dari batu bara, di mana harga batu baranya pun telah mendapatkan harga spesial dari Presiden Jokowi.
"Harga batu baranya tahun 2022 kalau kita ekspor itu US$345 per ton. Tapi dengan kerendahan hati Jokowi, cuma di charge US$70. Jadi setiap batu bara yang dipakai oleh smelter ini memperoleh subsidi US$275, dikali berapa juta batu bara yang dipakai, jadi kitanya tekor," kata Faisal.
Hal itu menurut Faisal Basri belum ditambah dengan dampak kerusakan lingkungan, yang harus dialami di daerah-daerah penghasil nikel tersebut. Bahkan, menurut pengakuan dari kunjungan Faisal Basri ke Sulawesi beberapa waktu lalu, Dia melihat betapa kerusakan lingkungan dan sosial yang harus dihadapi oleh masyarakat dan lingkungan di sana.
"Saya baru dari Sulawesi, rakyatnya menderita kena ISPA dan sebagainya. Jadi eksternalitas negatifnya ditanggung oleh rakyat, dan pemerintah Indonesianya diam saja," kata Faisal.
"Sampai teman-teman suku adat di sana sekarang sudah memikirkan siap perang. Perang fisik maksudnya. Karena mereka dianiaya oleh smelter, dianiaya oleh pemerintah pusat, dan sebagainya," ujarnya.