Ekosistem Tembakau Protes Rencana Kenaikan Cukai Rokok di 2025, Gelombang PHK Menghantui
- ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi
Jakarta – Rencana kenaikan pajak rokok seiring dengan kenaikan cukai di tahun depan, akan menjadi pukulan berat bagi pengusaha, konsumen, dan pelaku industri termasuk para pekerja dan petani di sektor tembakau.
Kondisi ini pada akhirnya menimbulkan kecemasan di ekosistem pertembakauan, karena keputusan pengenaan tarif cukai dan pajak rokok di tahun depan dinilai sangat menentukan nasib semua pihak yang memiliki mata pencaharian di industri tersebut.
Kelompok petani dan pekerja tembakau yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) pun meminta Pemerintah, untuk mengambil keputusan yang adil khususnya terkait rencana kenaikan cukai 2025.
"Ketika industri rokok turun, maka ada dua dampak yang akan dirasakan. Pertama akan terjadi PHK yang dampaknya adanya pengangguran dan kondisi ekonominya pun semakin susah. Kedua tentunya produksi tembakau para petani akan sulit terserap," kata Wakil Ketua Umum IV APTI, Samukrah, dalam keterangannya, Selasa, 4 Juni 2024.
Hal itu terbukti di mana dalam rentang waktu tiga tahun sejak 2019, populasi sejumlah pabrik rokok semakin tergerus. Yakni dari 4.700 lebih pabrik menjadi hanya 1.000-an di tahun 2021. Dampak yang lebih terasa pada pabrik golongan tier 1, sebagai penyumbang 86% cukai yang saat ini hanya tersisa 4 dari sebelumnya 7 pabrik.
"Menurunnya jumlah pabrikan tentu akan berdampak terhadap serapan panen tembakau yang dihasilkan petani. Alhasil, sumber ekonomi keseharian mereka pun akan ikut terganggu," ujar Samukrah.
Karenanya, Samukrah dengan tegas meminta kepada Pemerintah, agar tarif cukai rokok tidak dinaikkan setiap tahunnya. Menurutnya, saat ini kita tidak bisa spesifik menyebut hanya IHT yang akan terdampak kenaikan cukai, namun juga bagi seluruh ekosistem tembakau.
"Artinya, ketika salah satu pihak di dalamnya dirugikan, maka juga akan berdampak terhadap semua yang ada dalam rantai eksosistem tersebut," ujarnya.
Senada, Ketua Umum PP FSP RTMM-SPSI, Sudarto AS menegaskan, keberlangsungan tenaga kerja sangat bergantung terhadap sikap pemerintah yang bertanggung jawab atas kewenangannya. Termasuk dalam hal mengantisipasi kenaikan cukai di tahun 2025 sesuai realitas, situasi, dan kondisi dalam negeri dan ketenagakerjaan saat ini.
Hingga saat ini, menurutnya terdapat 147 ribu pekerja tembakau yang tergabung di RTMM, dan akan terdampak apabila penerapan regulasi semakin ketat mulai dari kebijakan cukai hingga aturan RPP Kesehatan yang akan disahkan.
"Kami memahami bahwa untuk membantu menyejahterakan para pekerja yang adalah anggota kami, kami juga harus paham dengan kondisi industrinya. Maka kami meminta kepedulian pemerintah dalam menjamin berbagi hal-hal baik, bukan hanya memikirkan pemasukan negara tanpa melihat tenaga kerja dan industri yang terdampak, termasuk dari sisi penjualan juga produksinya," ujarnya.
Diketahui, setelah menaikkan tarif cukai rata-rata sebesar 10 persen di 2024, Pemerintah mengesahkan aturan UU PPN s.t.d.t.d UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Hal itu dipastikan akan berimbas kepada tarif PPN atas rokok, yang akan naik menjadi 10,7 persen dari sebelumnya sebesar 9,9 persen. Hal ini seiring dengan kenaikan tarif umum PPN dari semula 11 persen menjadi 12 persen pada tahun 2025, sesuai aturan Harmonisasi Perpajakan tersebut.