Indef Tegaskan Pelaksanaan Tapera Tak Punya Urgensi, Ini Penjelasannya
Jakarta – Ekonom senior dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Aviliani menilai, pelaksanaan kebijakan soal Tabungan Perumahan Rakyat alias Tapera, saat ini sebenarnya tidak memiliki urgensi. Karena baik dari sisi pengusaha maupun dari sisi pekerjanya sendiri, sudah sama-sama menyatakan ketidaksiapan mereka menghadapi kewajiban iuran sebesar 3 persen untuk program Tapera tersebut.
Dia mencontohkan misalnya dari sisi perbankan. Menurutnya, dari 100 bank umumnya hanya 23 bank saja yang mau memberikan pendanaan kepada sektor perumahan. Karenanya, Aviliani pun mempertanyakan sejauh mana sebenarnya masyarakat membutuhkan perumahan melalui KPR pinjaman atau bahkan FLPP untuk membangun rumah-rumah sederhana tersebut.
Apalagi, dari sisi pengembang maupun kontraktor perumahan juga cenderung tidak tertarik dengan program perumahan sederhana itu. Selain labanya kecil dari sisi profitabilitas, kewajiban dari pemerintah untuk mengembangkan MBR itu nyatanya lebih sulit untuk dipenuhi.
"Ini kan sebenarnya bukan untuk subsidi, tapi lebih untuk membangun perumahan-perumahan masyarakat. Jadi memang urgensi Tapera untuk saat ini kita melihat belum urgent," kata Aviliani dalam telekonferensi di diskusi publik Indef, "Hari Lahir Pancasila; Ekonomi Sudah Adil Untuk Semua?", Selasa, 4 Juni 2024.
Selain itu, dia mengatakan bahwa daya beli masyarakat sendiri sebenarnya belum mengalami perbaikan dalam hal membeli rumah. Rendahnya daya beli itu utamanya bagi rumah-rumah yang harganya di bawah Rp 500 juta, yang permintaannya tidak banyak. Namun, permintaan itu justru lebih banyak untuk rumah-rumah yang harganya Rp 2 miliar ke atas.
"Jadi itu adalah orang yang sudah punya kemampuan dan punya penghasilan tetap. Sedangkan yang paling banyak sekarang adalah sektor informal. Tapi sektor informal itu yang paling tidak bisa mengakses sektor perbankan, khususnya di sektor perumahan," ujarnya.
Aviliani mengatakan, salah satu penyebabnya yakni karena sektor informal kerap dipandang oleh pihak perbankan, sebagai pihak yang tidak memiliki income atau pendapatan tetap. Sehingga, mereka pun sulit untuk mendapatkan kredit jangka panjang, yang di sektor perumahan memiliki tenor antara 5, 10, bahkan hingga 25 tahun.
Karenanya, Aviliani pun menjelaskan bahwa kendala pelaksanaan Tapera ini antara lain yakni pertama, dari sisi pengusaha belum mengalami perubahan signifikan dalam memperbaiki penghasilan para pekerja. Kedua, masyarakat yang sebelumnya sudah dibebankan oleh kewajiban iuran BPJS, tentunya akan dibebankan lagi dengan iuran Tapera tersebut.
"Kenapa sih tidak menggunakan saja dana BPJS yang besar itu, yang sekarang ditempatkan di instrumen pemerintah dan lain-lain, aga digunakan untuk FLPP, dana kebutuhan tabungan? Ini kan sebenarnya bukan untuk subsidi, tapi lebih untuk membangun perumahan-perumahan masyarakat. Jadi memang urgensi Tapera untuk saat ini kita melihat belum urgen," kata Aviliani.
"Kenapa kita tidak manfaatin saja dana BPJS yang sangat besar, yang sekarang jadi rebutan bank-bank untuk mendapatkan bunga tinggi. Jangan-jangan nanti ada Tapera juga akhirnya ditempatkan di dana (berbunga) tinggi. Akibatnya itu bisa jadi tidak untuk kepentingan rakyatnya," ujarnya.