Asosiasi Petani Tembakau Sebut Arah Kebijakan Cukai Semakin Mendekati Gelombang Kiamat
- ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Jakarta – Ketua umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI), Agus Parmuji menilai arah kebijakan cukai pada tahun depan yang termuat dalam Kerangka Ekonomi Makro Pokok Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2025, semakin serampangan dan tidak memperhatikan aspek kelangsungan hidup petani tembakau.Â
Agus mengatakan, dalam dokumen tersebut pemerintah merumuskan arah kebijakan cukai yakni tarif bersifat multiyears, kenaikan tarif moderat, penyederhanaan tarif cukai, dan mendekatkan disparitas tarif antar layer.Â
"Poin-poin dalam arah kebijakan cukai itu semakin mendekatkan kiamat bagi petani tembakau. Sehingga niat pemerintah yang ingin membunuh nafas petani tembakau sebagai soko guru di negeri ini semakin nyata," kata Agus dalam keterangannya Selasa, 28 Mei 2024.Â
Agus menjelaskan, kenaikan cukai sebesar 10 persen yang berlaku tahun 2023 dan 2024 merupakan pukulan telak bagi petani tembakau. Pasalnya, sudah 5 tahun berturut-turut keadaan petani tembakau tidak baik-baik saja, bahkan terpuruk mengingat hasil panen tembakau rontok baik harga dan terlambatnya penyerapan.
Menurutnya, dalam 5 tahun terakhir kenaikan cukai cukup eksesif. Sebab pada tahun 2020 cukai naik 23 persen, tahun 2021 naik 12,5 persen, tahun 2022 naik 12 persen, tahun 2023 dan 2024 naik 10 persen.
"Kenaikan cukai yang eksesif dalam 5 tahun terakhir itu semakin mendekatkan petani tembakau dalam jurang kematian," terangnya.Â
Bagi petani tembakau, salah satu kerontokan ekonomi petani tembakau selama 5 tahun ini merupakan dampak dari kenaikan cukai yang sangat tinggi. Tingginya tarif cukai hasil tembakau (CHT) akan membuat perusahaan mengurangi produksi yang secara tidak langsung, mengurangi pembelian bahan baku. Padahal, 95 persen tembakau yang dihasilkan petani, untuk bahan baku rokok.
“Pembelian tembakau industri di petani dari tahun 2020 turun terus. Karena cukai naik terus dan pasar rokok legal digerus rokok ilegal. Penurunan pembeliannya tiap tahun kisaran 20-30 persen," terangnya.
Agus menambahkan, dengan kenaikan harga, simplifikasi cukai, dan mendekatkan disparitas tarif antar layer, maka harga rokok makin mahal sehingga perokok berpotensi beralih ke rokok yang lebih murah, dan harga termurah hanya bisa ditawarkan oleh rokok ilegal.
"Penyederhanaan (simplifikasi) tarif cukai dan mendekatkan disparitas tarif antar layer juga menjadi ancaman harga rokok legal semakin tidak terbeli, dan perokok beralih ke rokok ilegal," imbuhnya.