Sri Mulyani Ungkap Mood dan Fokus Para Pembuat Kebijakan Keuangan Global Lagi Begini
- VIVA.co.id/Mohammad Yudha Prasetya
Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menghadiri pertemuan IMF-World Bank dan G20 di Washington DC, Amerika Serikat, awal pekan ini. Dia pun membagikan hasil diskusi dengan para pemngku kebijakan keuangan global.
Menurutnya, ada tiga hal utama dari pertemuan tersebut, yaitu outlook dan risiko ekonomi global, World Bank Evolution, dan pembahasan mengenai agenda perubahan iklim dan penguatan multilateral development bank (MDB).
“Pertama, dominasi mengenai kondisi outlook global dan risiko ekonomi global itu sangat besar, ini artinya dari sisi situasi kondisi mood dan fokus dari para pembuat kebijakan di bidang keuangan negara dan moneter sangat tercipta oleh downside risk atau risiko yang besar dari perekonomian global,” kata Sri Mulyani di kantornya, Jumat, 26 April 2024.
Dia pun menjabarkan, risiko tersebut salah satunya muncul dari eskalasi konflik geopolitik di Timur Tengah serta Ukraina. Kemudian, ada pula kondisi ekonomi Amerika Serikat dengan Fed Fund Rate yang masih bertahan secara higher for longer, menimbulkan gejolak di pasar modal hingga nilai tukar.
“Ini mempengaruhi indeks dolar AS yang menguat. Nilai tukar mata uang yang lainnya menjadi lebih lemah atau terkoreksi. Sehingga suku bunga lebih tinggi dan capital outflow dan nilai tukar menjadi fokus pembahasan yang sangat besar,” ungkapnya.
Sri Mulyani menceritakan bahwa banyak negara G20 maupun negara-negara berkembang mengalami situasi APBN negaranya yang tidak baik. Hal tersebut terjadi karena tingginya defisit dan rasio utang akibat pandemi ditambah berbagai kebijakan negara masing-masing sangat memberatkan kekuatan fiskal mereka.
"Cost of borrowing mereka meningkat, ini yang tentu menjadi tema yang menyerap perhatian terbesar dari menteri-menteri keuangan dan gubernur bank sentral," ungkapnya.
Dalam pertemuan tersebut, Indonesia juga aktif berperan untuk memberikan pandangan terutama dengan perubahan yang terjadi di lembaga multilateral seperti Bank Dunia dan IMF. Menurutnya, kebutuhan untuk melakukan berbagai penyesuaian menjadi sesuatu yang perlu untuk direspons oleh lembaga tersebut.
Ia menuturkan, fokus dalam reformasi ini adalah capacity to finance atau to lend dari lembaga-lembaga itu khususnya bagi negara-negara yang mengalami dampak negatif dan membutuhkan pembiayaan.
"Kita terus menyuarakan agar reformasi di multilateral institusi ini harus bisa menjawab tantangan kini dan ke depan, entah itu tantangan di bidang perubahan iklim kemudian lingkungan geopolitik yang menyebabkan dampak tadi dan juga adanya kondisi dari negara-negara emerging dan negara-negara berkembang yang tertekan oleh cost of borrowing tinggi," kata Menkeu.
Menkeu melanjutkan, dalam pertemuan G20 terutama untuk isu perubahan iklim dan penguatan MDB, Indonesia memberikan banyak sekali sumbangan pemikiran dan pengalaman di forum yang sangat prestisius tersebut. Pada pertemuan tersebut Menteri Keuangan mewakili Indonesia juga menyampaikan perkembangan pelaksanaan Just Energy Transition Partnership (JETP).
"Ini karena Indonesia bersama dengan South Africa dan negara-negara lain seperti Vietnam memiliki program JETP dan menjadi fokus perhatian juga transisi energi di Indonesia yang perlu untuk kita kelola karena implikasi dari sisi pembiayaan cukup besar dan signifikan namun itu penting," ujarnya. (Ant)