INACA Tak Setuju Iuran Pariwisata Masuk Dalam Komponen Tiket Pesawat, Ini Alasannya

Ilustrasi maskapai penerbangan
Sumber :
  • VIVA/Mohammad Yudha Prasetya

Jakarta – Ketua Umum Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) Denon Prawiraatmadja menanggapi rencana pengenaan iuran pariwisata dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) kepada penumpang pesawat.

H-3 Natal 2024: 13.988 Penumpang Berangkat dari Stasiun di Kota Semarang

Menurutnya, penumpang pesawat terdiri dari berbagai macam keperluan, di antaranya untuk keperluan bisnis, acara keluarga atau pribadi, keperluan dinas, keperluan pendidikan, keperluan liburan atau berwisata dan lainnya. Jadi pariwisata dan wisatawan hanya salah satu dari berbagai jenis penumpang pesawat. 

"Dengan demikian tidak seharusnya iuran pariwisata yang sedang digagas oleh Kemenparekraf ditambahkan dalam komponen harga tiket pesawat karena akan menjadi beban tambahan bagi penumpang dan maskapai penerbangan," kata Denon dikutip dalam keterangan tertulis, Jumat, 26 April 2024.

Libur Nataru, Bali dan Surabaya Dominasi Penerbangan Terpadat di Bandara Soetta

Ketua Umum INACA, Denon Prawiraatmadja

Photo :
  • Istimewa

Dijelaskannya, dengan tambahan iuran pariwisata dalam  komponen tiket akan membuat harga tiket menjadi lebih mahal bagi penumpang. Maskapai juga akan terkena dampak karena jumlah penumpang akan berkurang jika harga tiket dianggap mahal.

Pemerintah Malaysia Setujui Lanjutkan Pencarian Pesawat MH370, Ini Respons Keluarga Korban

Menurut Denon, saat ini bisnis penerbangan sedang dalam kondisi rebound setelah terpuruk akibat pandemi Covid-19 pada tahun 2020 sampai dengan 2022 lalu. Namun demikian banyak kendala yang dihadapi maskapai penerbangan Indonesia sehingga proses rebound tidak bisa berlangsung  lancar jika dibandingkan dengan maskapai penerbangan internasional.

"Permasalahan yang dihadapi maskapai Indonesia di antaranya adalah berkurangnya jumlah ketersediaan pesawat beserta suku cadang (spareparts) dan sumber daya manusia yang siap untuk dioperasikan," katanya. 

Selain itu juga meningkatnya biaya operasi yang disebabkan oleh naiknya harga bahan bakar avtur dan nilai tukar mata uang Rupiah yang terus melemah terhadap mata uang dolar AS. Padahal sekitar 70 persen biaya operasional penerbangan dipengaruhi oleh dolar AS, di antaranya terkait harga avtur, biaya sewa pesawat, biaya perawatan dan pengadaan spareparts dan lainnya.

Sementara itu, tarif penerbangan sejak tahun 2019 sampai saat ini belum  disesuaikan oleh pemerintah padahal komponen biaya tarif penerbangan sudah meningkat. Misalnya untuk kurs dolar AS dari tahun 2019 sebesar Rp 14.102,- dan tahun 2024 menjadi Rp 16.182,- atau meningkat 15 persen.  Harga jual minyak juga terus naik, di mana tahun 2024 ini  mencapai 87,48 US$/ barel atau meningkat 37 persen dibanding tahun 2019 yaitu 64 US$/ barel.

“Dengan demikian pengenaan iuran pariwisata pada tiket pesawat akan menjadi kontraproduktif, karena dapat menyebabkan harga tiket naik, jumlah penumpang turun dan kondisi bisnis maskapai penerbangan juga turun sehingga program perluasan konektivitas transportasi udara dari pemerintah menjadi tidak tercapai,” tutup Denon.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya