Ini 5 Dampak Serius Konflik Iran-Israel ke Ekonomi RI, Simak!

Gedung Perkantoran Jakarta (Ilustrasi Kondisi Ekonomi RI).
Sumber :
  • VIVA/Muhamad Solihin

Jakarta – Situasi di Timur Tengah saat ini tengah memanas pasca-serangan balasan Iran yang meluncurkan rudal dan drone ke Israel. Hal ini dikhawatirkan akan memberikan dampak terhadap perekonomian negara-negara lainnya. 

Hizbullah Tembakkan 250 Roket ke Israel, Sejumlah Orang Luka-luka

Lantas bagaimana dampaknya untuk perekonomian nasional Indonesia sendiri?

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara menilai dari serangan Iran ke Israel akan memberikan lima dampak serius ke ekonomi Indonesia. Pertama, yakni harga minyak mentah melonjak ke US$85,6 per barel atau meningkat 4,4 persen year on year (yoy).

7 Strategi Cerdas untuk Mengubah Krisis Ekonomi 2025 Menjadi Peluang

"Sebagai negara penghasil minyak ke 7 terbesar di dunia, produksi dan distribusi minyak Iran bisa terpengaruh. Harga minyak yang melonjak berimbas ke pelebaran subsidi energi hingga pelemahan kurs rupiah lebih dalam," kata Bhima saat dihubungi VIVA Bisnis, Rabu, 17 April 2024.

Menurutnya, bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) naiknya harga minyak mentah global diperkirakan akan menambah belanja subsidi energi. 

AS Ancam Akan Menarik Diri dari Mediasi Gencatan Senjata Israel-Lebanon

"Bagi APBN artinya ada kemungkinan penambahan belanja subsidi energi tahun ini atau dikhawatirkan BBM subsidi akan disesuaikan harga dan kuotanya," jelasnya.

Penampakan rudal Iran ke arah Israel di atas langit Yordania

Photo :
  • Tangkapan layar

Sedangkan dari sisi penerimaan negara, Bhima menilai adanya lonjakan harga minyak mentah ini belum tentu akan menguntungkan APBN. Sebab berbagai komoditas lain seperti batu bara harganya justru anjlok.

Dampak kedua, terang Bhima, aliran investasi asing keluar dari negara berkembang karena meningkatnya risiko geopolitik. Sehingga investor mencari aset yang aman baik emas dan dolar AS, sehingga rupiah menurutnya bisa melemah tembus Rp 17.000 per dolar AS. 

"Ketiga, kinerja ekspor Indonesia ke Timur Tengah, Afrika dan Eropa akan terganggu menyebabkan pertumbuhan ekonomi akan melambat di kisaran 4,6-4,8 persen tahun ini," ujarnya.

Lalu keempat, konflik ini akan menimbulkan dorongan inflasi karena naiknya harga energi sehingga tekanan daya beli masyarakat bisa semakin besar. 

"Rantai pasok global yang terganggu perang membuat produsen harus cari bahan baku dari tempat lain, tentu biaya produksi yang naik akan diteruskan ke konsumen," terangnya.

Sementara kelima, Bhima mengatakan bahwa suku bunga tinggi akan bertahan lebih lama, bahkan ada risiko suku bunga mengalami kenaikan. Sehingga dengan tingginya suku bunga ini, membuat suku bunga kredit lebih mahal.

"Bagi masyarakat yang mau membeli kendaraan bermotor hingga rumah lewat skema kredit siap-siap bunganya akan lebih mahal," tegas Bhima.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya