Peran Masyarakat Dinilai Penting Genjot Transisi Energi di Daerah, Ini Penjelasannya
- Pixabay
Jakarta – Pemerintah Indonesia terus menggenjot agar target pencapaian bauran energi nasional dari Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 17 persen pada tahun 2025 dapat tercapai. Hal tersebut tidak lain karena transisi energi dinilai menjadi problem mendesak di tengah laju krisis iklim yang semakin mengkhawatirkan.
Ephrem Santos Direktur Balai Latihan Kerja Don Bosco Sumba menjabarkan, selama ini transisi energi lebih banyak menitikberatkan pada proses yang bersifat top-down, identik dengan pembangunan infrastruktur padat modal, dan berorientasi sisi teknis untuk mencapai target. Padahal, transisi energi bukan sekadar perkara teknis mengganti bahan bakar berbasis fosil ke sumber-sumber energi baru.
Namun juga transisi pengelolaan energi yang demokratis di mana ada keadilan energi berbasis pengakuan otonomi masyarakat atas sumber energi serta keadilan lingkungan.
“Demokratisasi energi akan memastikan manfaat energi baru terbarukan didistribusikan secara adil dan merata serta melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat,” ujar Ephrem dikutip dari keterangannya, Jumar, 23 Februari 2024.
Dia pun menceritakan pengalamannya selama kurang lebih tiga tahun terlibat dalam pelatihan masyarakat untuk pembangunan sistem energi terbarukan tenaga matahari dan baterai di Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur. Di Desa Mata Redi dan Mata Woga diketahui belum pernah mendapat akses listrik.
“Saya mendapat pelajaran untuk menempatkan masyarakat sebagai modal penting dalam proses transisi energi yang berkeadilan. Energi baru terbarukan adalah pengetahuan baru, terutama bagi mereka yang tinggal di wilayah dengan keterbatasan akses infrastruktur dan informasi,” ungkapnya.
Dia melanjutkan, masyarakat Desa Mata Redi dan Mata Woga selama ini bergantung pada minyak tanah untuk sumber penerangan. Meski Pulau Sumba diberkati kekayaan sinar surya terbaik sepanjang tahun dengan potensi energi hingga 20 ribu megawatt, pemanfaatannya adalah pengalaman baru bagi masyarakat setempat.
Karena itu menurutnya, diperlukan pendekatan komunikasi dialogis yang sesuai dengan karakteristik sosial budaya setempat. Lewat forum pertemuan, warga desa memetakan persoalan yang dihadapi warga terkait akses energi. Terbatasnya pasokan energi listrik membuat banyak aktivitas warga di malam hari sulit dijalankan.
“Kegiatan ekonomi praktis terhenti setelah senja. Anak-anak sulit belajar di malam hari. Layanan kesehatan terhambat. Juga terbatasnya ruang aman perempuan untuk berkegiatan di malam hari,” tegasnya.
Masalah tersebut lanjutnya, dicoba dipecahkan dengan kehadiran instalasi off-grid Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 95 kWp. Sistem baterai yang digunakan memungkinkan ketersediaan pasokan listrik pada malam hari dari tenaga matahari yang diserap di siang hari.
“Melalui pendampingan dari berbagai lembaga seperti Hivos dan MENTARI, saya mencoba mencoba menjelaskan konsep transisi energi lewat cara yang mudah dipahami oleh warga. Melalui bahasa-bahasa sederhana serta media visual berupa poster dan foto-foto yang dicetak dengan ukuran besar,” ungkapnya.
“Saya menyampaikan manfaat sel surya sebagai energi terbarukan dalam membantu aktivitas masyarakat berupa aliran listrik selama 24 jam yang bisa digunakan untuk rumah tangga, fasilitas umum, layanan kesehatan, hingga penerangan jalan. Energi baru terbarukan ini juga akan membantu meningkatkan hasil pertanian lewat penyediaan air bersih untuk irigasi. Secara bersama-sama, proyek ini akan mendorong kesejahteraan dan ekonomi masyarakat,” tambahnya.
Dia menegaskan, pendekatan dialogis ini akhirnya membuat masyarakat menerima dan mau terlibat bersama-sama dalam proses transisi energi. Karena, mustahil untuk masyarakat dapat menerima sebuah konsep baru, seperti transisi energi, jika dilakukan dengan cara-cara represif yang menihilkan dialog.
Sementara tanpa penerimaan dan dukungan masyarakat, akan sulit bagi transisi energi ini untuk berjalan. Dengan dialog, akan ada titik temu antara transisi energi dengan kebutuhan masyarakat yang beragam sehingga keberadaan energi baru terbarukan akan benar-benar memenuhi kebutuhan masyarakat. Bukan sekadar menguntungkan kepentingan segelintir kelompok tertentu.
“Kita harus memahami masyarakat punya kedekatan yang sudah terjalin lama dengan sumber-sumber energi baru terbarukan. Mereka memiliki cara pandang tersendiri dalam pengelolaan energi,” tambahnya.
Selain itu, ada hal-hal baru yang harus ada untuk mendukung proses transisi energi. Salah satunya keberadaan teknologi-teknologi baru. Transisi energi memang identik dengan penggunaan teknologi, namun di lain sisi faktor manusia juga tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Penguasaan teknologi memerlukan modal SDM yang kompeten agar nantinya tidak lagi ada satu pihak yang ditinggalkan karena ada kesenjangan pengetahuan.
Di lain sisi, tidak semuanya memiliki akses yang sama terhadap pengetahuan dan infrastruktur teknologi. Ini yang menjadi salah satu pengganjal proses demokratisasi energi. Karena itu, dia menyambut dengan tangan terbuka tawaran pemerintah Indonesia dan pemerintah Inggris di program MENTARI untuk menyiapkan generasi muda Mata Redi dan Mata Woga mengelola energi baru terbarukan di desa mereka.
“Merekalah yang paling mengerti potensi energi di desanya. Mereka pula yang nantinya akan mengelola untuk kepentingan warganya. Dengan bekal pengetahuan, mereka diharapkan menjadi pionir-pionir demokratisasi energi di level desa yang diharapkan dapat diadopsi pula di wilayah lainnya di Indonesia,” ungkapnya.