Indef Kritik Kebijakan Bansos: Anggaran Naik Terus, Kemiskinan Cuma Turun 2,3 Persen Sejak 2010

Ilustrasi penerima bansos PKH
Sumber :
  • ANTARA

Jakarta – Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti mengatakan, penyaluran bantuan sosial (bansos) dari pemerintah tidak efektif dalam hal mengurangi kemiskinan di masyarakat. Sebab, persentase kemiskinan hanya turun sebesar 2,3 persen sejak tahun 2010, meskipun anggaran bansos terus-menerus naik.

Bela Jokowi, Rampai Nusantara Tak Sependapat Dengan Hasto Soal Kriminalisasi Terhadap Anies

"Jadi bansos ini menurut saya tidak efektif. Karena selama 12 tahun angka kemiskinan turun 2,3 persen, dari 2010 sampai dengan 2023," kata Esther dalam diskusi 'Tanggapan Atas Debat Kelima Pilpres', Senin, 5 Februari 2024.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada tahun 2023, angka kemiskinan hanya mencapai 25,9 persen. Sementara pada tahun 2022 mencapai 26,36 persen.

Eks Wantimpres Kecewa, Bilang Harusnya Jokowi Jadi Negarawan saat Pilkada

Rendahnya penurunan angka kemiskinan tersebut dinilai tidak sejalan dengan anggaran bansos, yang terus meningkat jelang pemilu. Dimana, pada tahun 2009 anggaran bansos tercatat sebesar Rp 17,7 triliun, tahun 2019 sebesar Rp 194,76 triliun, dan tahun 2024 sebesar Rp 496 triliun.

Ilustrasi kemiskinan.

Photo :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar
Jokowi Bertemu Kiai Khos NU Jawa Tengah di Solo Jelang Pencoblosan Pilkada, Ada Apa

Karenanya, Esther menilai bahwa dengan anggaran yang semakin besar, hal itu membuktikan bahwa semakin banyak masyarakat yang menjadi penerima bansos. Namun, justru hal itu tidak berpengaruh signifikan pada berkurangnya angka kemiskinan.

"Bansos ini kalau di tahun pemilu biasanya relatif lebih tinggi. Tapi fakta bahwa penerima bansos itu semakin banyak, namun angka kemiskinan hanya turun 2 persen. Nah, ini patut dipertanyakan. Intervensi negara untuk pengurangan kemiskinan di mana?" ujar Esther.

Karenanya, Indef menilai bahwa kebijakan bansos ini bukanlah solusi jangka panjang. Karena hal itu hanya menjadi kebijakan populis, untuk meraih banyak suara di momen pilpres semata.

Berbeda dengan kebijakan bansos di luar negeri, lanjut Esther, alih-alih menyebabkan kerumunan massa dalam proses penyalurannya, bansos itu umumnya justru diberikan melalui transfer. Di mana, besarannya pun disesuaikan dengan biaya kehidupan sehari-hari.

"Jadi kesimpulannya, bansos ini bukan solusi jangka panjang, karena ini kebijakan populis untuk mendapatkan lebih banyak pemilih. Dibandingkan ke negara lain, harusnya sistematis. Jadi tidak hanya Rp 250 ribu, karena besarannya disesuaikan dengan living cost di daerah tersebut," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya