RI Ditegskan Punya Potensi Kembangkan LFP di Masa Depan, Ada Tapinya
- Insideevs
Jakarta – Perdebatan soal efektivitas Lithium Ferro Phosphate (LFP) sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik, mengemuka sejak dibahas oleh cawapres nomor urut 02, Gibran Rakabuming Raka, dalam debat Pilpres 2024 keempat yang digelar Minggu malam, 21 Januari 2024 kemarin.
LFP disebut-sebut menjadi saingan dari nikel atau Nickel Manganese Cobalt Oxide (NMC), untuk digunakan sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik. Apalagi, korporasi raksasa seperti Tesla dikabarkan juga telah melirik LFP, sehingga hal itu dianggap mengancam permintaan nikel termasuk dari Indonesia.
Saat hal itu ditanyakan kepada Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi, Nurul Ichwan, Dia mengatakan bahwa sebenarnya Indonesia punya potensi untuk mengembangkan LFP dan nikel di industri hilir, di mana potensi permintaannya masih terbuka lebar.
Namun di satu sisi, Nurul menyayangkan bahwa pasar baterai kendaraan listrik dalam negeri saat ini masih terbilang rendah, dan diperkirakan baru akan tumbuh sekitar tahun 2035 mendatang.
"Potensi pengembangan industri kendaraan listrik yang menggunakan LFP dan NMC masih punya kemungkinan, saya lihat 2040 atau 2035 masih bisa tumbuh dua-duanya," kata Nurul di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa, 23 Januari 2024.
Dia menegaskan, meskipun LFP tengah disorot para pengusaha kendaraan listrik, namun efektifitasnya belum tentu bisa 100 persen menggerus permintaan nikel di seluruh dunia. Karenanya, meskipun mantan Kepala BKPM, Thomas Lembong menyebut bahwa saat ini para pengusaha kendaraan listrik sudah mulai beralih kepada LFP, namun Nurul meyakini bahwa masih banyak kemungkinan yang bisa terjadi di pasar baterai ini.
"Kalau disampaikan para ahli, seperti Pak Tom Lembong dan ahli lain, itu ada benarnya. Tapi belum tentu 100 persen benar, karena ada sesuatu yang belum terjadi ke depan, dan pada akhirnya demand akan memengaruhi itu semua," ujar Nurul.
Dia menambahkan, kelebihan pasokan (oversupply) nikel yang membuat harganya anjlok, sebenarnya masih menyisakan potensi peningkatan permintaan. Hal itu seiring dengan transisi masyarakat dunia yang berbondong-bondong menuju kendaraan listrik.
"Karena kita di Kementerian Investasi memang menavigasi diri kita sendiri secara cermat, untuk bermanuver di market yang sedang dinamis ini," ujarnya.
Sementara untuk perkembangan LFP sendiri, Nurul mengatakan bahwa Indonesia tidak memiliki bahan baku yang memadai sehingga bahan baku seperti lithium harus diimpor. Sementara ferro (Fe) atau besi tersedia, namun tidak terpusat di satu tempat.
"Kita lithium tidak punya, kemudian untuk Fe besinya kita punya, tapi kita juga tahu tidak ada yang terkonsentrasi dalam jumlah besar dalam satu tempat, scattered biasanya kecil-kecil, bukan berarti kita tidak punya," ujarnya.