Sri Mulyani Ungkap Penyebab Penerimaan Bea dan Cukai 2023 Tak Capai Target
- Dok Sri Mulyani
Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, penerimaan bea dan cukai di tahun 2023 tidak mencapai target yang sudah ditentukan pemerintah. Salah satunya, karena menurunnya produksi rokok.Â
Sri Mulyani mengatakan, hingga akhir Desember 2023, penerimaan bea dan cukai hanya sebesar 95,4 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau senilai Rp 286,2 triliun.
"Penerimaan bea dan cukai terealisasi Rp 286,2 triliun atau 95,4 persen dari target APBN. Ini terjadi karena beberapa hal," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa dikutip Kamis, 4 Januari 2024.
Dia membeberkan, salah satu faktor tidak maksimalnya penerimaan bea cukai adalah penerimaan cukai yang mengalami penurunan. Tercatat penerimaan cukai dari awal tahun hingga akhir Desember sebesar Rp 221,8 triliun.Â
Adapun, turunnya penerimaan cukai disebabkan oleh menurunnya produksi rokok. Dalam hal ini produsen golongan 1 atau produsen rokok raksasa mengalami penurunan jumlah produksi hingga 14 persen. Sementara produsen golongan 2 dan 3 naik masing-masing 11,6 persen dan 28,2 persen
"Ini berarti komposisi dari cukai hasil tembakau mengalami pergeseran dari yang tadinya golongan 1 sekarang pindah golongan 2 dan golongan 3 yang cukainya naiknya tidak terlalu tinggi. Ini yang harus Kita waspadai," jelasnya.
"Overall seluruh produksi rokok kita turunnya 1,8 persen. Ini memang yang kita harapkan untuk di rokok menurun karena memang ini juga adalah untuk mengendalikan barang yang konsumsinya memang diharapkan dikendalikan," sambungnya.Â
Selain itu, Sri Mulyani mencatat pada bea masuk sebesar Rp 50,8 triliun. Penerimaan bea masuk itu tidak setinggi tahun sebelumnya, yang disebabkan oleh penurunan nilai impor sebesar 6,8 persen.Â
Kemudian bea keluar tercatat sebesar Rp 13,5 triliun. Turunnya bea keluar disebabkan oleh penurunan harga CPO di tengah upaya pemerintah melakukan hilirisasi produk mineral yang berdampak pada penurunan volume ekspor dan tarif pihak luar produk mineral.
"Karena rata-rata CPO turun 34,1 persen secara tahunan meskipun volume ekspor kelapa sawit masih tumbuh 3 persen secara tahunan," jelas dia.