Beri Peringatan soal Utang Negara Berkembang, Bank Dunia: Banyak yang Menuju Krisis
- ANTARA/HO-Bank Dunia/am
Jakarta – Bank Dunia merilis data terbaru mengenai kondisi utang negara-negara berkembang. Laporan itu menilai, biaya utang yang tinggi berpotensi memicu krisis di banyak negara.
Berdasarkan data terbaru International Debt Report, negara berkembang mengeluarkan dana sebesar US$443,5 miliar atau Rp 6.869 triliun (asumsi Rp 15.478 per dolar AS), untuk membayar utang publik eksternal dan utang yang dijamin publik pada tahun 2022. Peningkatan biaya itu, telah menggeser anggaran belanja penting seperti kesehatan, pendidikan, dan lingkungan.
Adapun pembayaran utang termasuk pokok dan bunga, meningkat sebesar 5 persen dibandingkan tahun sebelumnya di semua negara berkembang. Hal itu terjadi saat era suku bunga tinggi menghantam dunia.
“Tingkat utang yang sangat tinggi dan suku bunga yang tinggi telah menempatkan banyak negara di jalur menuju krisis,” kata Chief Economist and Senior Vice President Bank Dunia, Indermit Gill dalam keterangannya dikutip Jumat, 22 Desember 2023.
Lonjakan suku bunga telah meningkatkan kerentanan utang di semua negara berkembang. Sebab dalam tiga tahun terakhir, terdapat 18 negara yang mengalami gagal bayar di 10 negara berkembang. Jumlah itu lebih besar dibandingkan jumlah yang tercatat dalam dua dekade sebelumnya.
"Saat ini, sekitar 60 persen negara berpendapatan rendah mempunyai risiko tinggi atau sudah mengalami kesulitan utang," ujarnya.
Laporan ini memperlihatkan, pembayaran bunga menghabiskan sebagian besar ekspor negara-negara berpendapatan rendah. Terlebih lagi, lebih dari sepertiga utang luar negeri melibatkan suku bunga variabel yang bisa naik secara tiba-tiba.
Berdasarkan data Bank Dunia, pada tahun 2022 komitmen pinjaman eksternal baru kepada entitas publik dan entitas yang dijamin publik di negara berkembang turun sebesar 23 persen menjadi US$371 miliar, atau tingkat terendah dalam satu dekade.
"Situasi ini memerlukan tindakan yang cepat dan terkoordinasi dari negara debitur, pihak swasta, kreditur, dan lembaga keuangan multilateral secara transparan," ucap Gill.
Sementara itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI mencatat, sampai akhir November 2023, total jumlah utang pemerintah mencapai sebesar Rp 8.041,01 triliun, dan menjadi rekor tertinggi dari utang-utang yang ada sebelumnya. Di mana, sebelumnya utang pemerintah juga tercatat mencapai rekor tertinggi, setelah tembus Rp 7.950,52 triliun per akhir Oktober 2023 lalu.
Dikutip dari buku APBN KiTa edisi Desember 2023, rasio utang tercatat 38,11 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
"Pemerintah melakukan pengelolaan utang secara cermat dan terukur lewat komposisi mata uang, suku bunga, serta jatuh tempo yang optimal," sebagaimana dikutip dari buku APBN KiTa, Selasa, 19 Desember 2023.
Apabila dilihat dari porsinya, sebesar 88,61 persen atau Rp 7.124,98 triliun utang berasal dari Surat Berharga Negara (SBN). Sementara sebesar 11,39 persen atau Rp 916,03 triliun, berasal dari pinjaman.
Rinciannya, utang SBN terdiri dari SBN domestik sebesar Rp 5.752,25 triliun. Di mana jumlah itu terbagi atas Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp 4.677,88 triliun, dan SBN Syariah sebesar Rp 1.074,37 triliun.
Kemudian, ada pula utang dari SBN Valas atau mata uang asing sebesar Rp 1.372,73 triliun. Di mana hal itu terbagi atas SUN sebesar Rp 1.033,24 triliun, dan SBN Syariah sebesar Rp 339,49 triliun.
"Utang dari pinjaman terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp 29,97 triliun, dan pinjaman luar negeri sebesar Rp 886,07 triliun," ujarnya.