Pemerintah Ngutang Rp 203,6 Triliun di Oktober 2023, Sri Mulyani: Lebih Kecil dari 2022

Ilustrasi utang.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Jakarta – Pemerintah telah menarik utang baru sebesar Rp 203,6 triliun per Oktober 2023. Namun, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati memastikan nominal utang itu sebenarnya masih sangat kecil, dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu dan target penarikan utang tahun ini.

LPI Survei 10 Menteri Kabinet Prabowo dengan Kinerja Terbaik: Nomor 1 dan 4 Mengejutkan

Dia bahkan memastikan bahwa penarikan utang itu sudah mengalami penurunan hingga sekitar 59,9 persen, dibandingkan realisasi penarikan utang tahun 2022 yang mencapai Rp 507,3 triliun.

Bahkan di tahun 2023 ini, Menkeu menegaskan bahwa pemerintah baru berhutang dengan porsi 29,2 persen, dari target penarikan utang yang sebesar Rp 696,3 triliun.

Gus Yahya: Masyarakat Perlu Dengar Penjelasan Pemerintah soal PPN 12 Persen

"Sampai akhir Oktober 2023, realisasi pembiayaan utang sebesar Rp 203,6 triliun atau jauh lebih kecil dari 2022. Dimana, per Oktober 2022 kita melakukan pembiayaan utang mencapai Rp 507,3 triliun," kata Sri Mulyani dalam telekonferensi pers APBN KiTa November 2023, Jumat, 24 November 2023.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN Kita

Photo :
  • VIVA/Anisa Aulia
Utang Pemerintah November 2024 Naik Jadi Rp 8.680,13 Triliun

Dia pun merinci bahwa pembiayaan utang per Oktober 2023, yakni terdiri dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) neto sebesar Rp 185,4 triliun, dan pinjaman neto sebesar Rp 18,2 triliun.

Dengan demikian, Menkeu menegaskan bahwa pengelolaan utang sampai saat ini masih terus terjaga dengan baik dan sangat hati-hati.

"Kita juga tahu bahwa higher for longer harus kita sikapi dengan pengelolaan yang lebih hati-hati," kata Sri Mulyani.

Meski demikian, Sri Mulyani mengaku sadar bahwa tren pembiayaan utang harus dijaga pada level aman. Hal itu mengingat bahwa situasi global saat ini, cenderung dan berkorelasi dengan kenaikan suku bunga serta tingginya volatilitas.

"Penerbitan (utang) harus ditentukan secara situasi, sehingga kita tidak terekspos dengan suku bunga yang melonjak sangat tinggi dan bahkan sering disertai volatilitas nilai tukar," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya