Di Tengah Ingar-Bingar Pemilu, Perajin Tahu di Jombang Menjerit Harga Kedelai Impor Naik
- VIVA/Uki Rama
Jombang - Naiknya harga kedelai impor dari Rp10.500 menjadi Rp12.500 membuat produsen tahu di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, kelimpungan. Untuk menyiasati kenaikan harga kedelai impor yang naik sebesar Rp2.000 per kilogram dalam sebulan terakhir, para pelaku usaha pembuatan tahu memilih untuk memperkecil ukuran tahu.
Biasanya dalam sekali produksi, tahu dipotong menjadi 20 potong, kini satu loyang tahu dijadikan 25 potong. Otomatis tahu yang biasanya memiliki lebar 5 sentimeter kini berkurang jadi 4 sentimeter.
Abdul Rohim (48 tahun), perajin tahu asal Desa Mayangan, Kecamatan Jogoroto, Jombang, mengatakan, setiap masuk tahun politik atau menjelang pemilu seperti saat ini, harga bahan baku tahu berupa kedelai impor pasti mengalami kenaikan.
"Biasanya setiap mau pemilu itu selalu naik, dan naiknya itu sangat drastis. Kenaikan sudah terjadi sejak satu bulan terakhir, dari awal Rp10.500 sekarang jadi Rp12.500 per kilogramnya," kata Rohim, Senin, 13 November 2023.
Naiknya harga kedelai impor itu membuat pendapatan produsen tahu menurun. sebab setiap kali produksi tahu, biasanya menghabiskan kedelai 1,5 ton kini berkurang menjadi 1 ton kedelai dalam sekali produksi.
"Penghasilan jadi kurang selisih per hari Rp2 juta, itu kan sebenarnya bisa buat bayarin karyawan. Penurunan omset 20 persen per hari. Biasanya habis 100 loyang (kotak cetakan tahu) kurang lebih, sekarang jadi 80 an loyang," ujar Rohim.Â
Sedangkan untuk bertahan di tengah kenaikan harga kedelai impor, para produsen tahu mengurangi volume kedelai dalam sekali produksi. Bila kondisi makin sulit, biasanya para produsen mengurangi ukuran tahu.
Ia berharap agar pemerintah segera mencarikan solusi untuk mengatasi kenaikan harga kedelai impor yang diperkirakan akan mengalami kenaikan. Sebab, jika kondisi ini berlangsung lama, tidak menutup kemungkinan para produsen tahu di Jombang akan berhenti produksi.
"Ya, ancamannya mogok kerja. Kalau enggak nutut (tak dapat menutupi biaya produksi) ngapain diterusin, bisa rugi. Yang terbaik, ya, berhenti produksi kalau pemerintah enggak ada solusi," kata Rohim.