RPP UU Kesehatan soal Rokok Kretek Minimal 20 Batang Sebungkus Diprotes, Matikan Industri
- ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho
Jakarta – Sejumlah larangan terhadap produk tembakau dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), sebagai aturan pelaksana Undang-undang (UU) Kesehatan, dinilai sangat membahayakan industri rokok kretek hingga para pedagang kecil.
"Maka itu, dibandingkan membuat aturan baru, Pemerintah diminta untuk memperkuat implementasi regulasi yang sudah berlaku," kata Juru Bicara Komunitas Kretek, Siti Fatona, dalam keterangannya, Senin, 6 November 2023.
Dia mengatakan, draf RPP Kesehatan, khususnya pasal pertembakauan, akan sangat berbahaya jika disahkan. Karena, ada beberapa pasal yang utamanya akan mengancam hajat hidup orang banyak.
"Terutama pihak-pihak yang menggantungkan hidupnya di rokok (produk tembakau)," ujarnya.
Salah satu hal yang paling signifikan menurutnya, adalah ancaman kematian terhadap kelestarian kretek, sebagai produk khas dan warisan budaya bangsa Indonesia. Ancaman tersebut salah satunya tercermin pada pasal, yang mewajibkan bahwa isi dalam setiap bungkus rokok minimal harus 20 batang.
"Jika semua produk tembakau dipaksakan harus berisi 20 batang, maka industri kretek nasional yang akan dirugikan," kata Siti.
Padahal, lanjut Siti, industri kretek adalah sektor padat karya, yang melibatkan banyak tenaga kerja. Mulai dari petani tembakau dan cengkeh, hingga para pekerja dan pedagang. Karenanya, sejumlah larangan pada pasal pertembakauan RPP Kesehatan, diyakini Siti akan semakin menggerus produksi rokok kretek.
Pasalnya, dipastikan akan terjadi pengurangan daya beli oleh konsumen, dan akibatnya industri kretek akan berangsur mati dan berdampak pada seluruh tenaga kerja yang ada di dalamnya.
Lagipula, Siti menegaskan bahwa aturan ini tidak akan berlangsung secara efektif. Karena, konsumen hanya akan beralih ke rokok yang lebih murah, yaitu rokok ilegal. Sehingga hal itu dipastikan justru akan makin menyuburkan keberadaan rokok ilegal tersebut.
"Melarang rokok eceran dapat menimbulkan peredaran rokok ilegal menjadi semakin besar. Itu disebabkan dari sulitnya akses perokok untuk membeli rokok secara eceran," ujar Siti.
"Maka kami menyarankan kepada Pemerintah, terutama Kementerian Kesehatan, untuk fokus pada hal yang lebih prioritas untuk isu kesehatan. Fokus saja dengan permasalahan utama di kesehatan, seperti sulitnya akses kesehatan di daerah-daerah terpencil," ujarnya.