Kisruh Pulau Rempang, Segini Potensi Investasi yang Diincar Pemerintah
- Dok. Istimewa
Jakarta – Konflik perebutan lahan yang terjadi kepada warga Rempang, Batam, Kepulauan Riau, masih terus berlanjut hingga saat ini.
Bentrokan yang pecah pada 7 September 2023 lalu menegaskan, pemerintah melalui aparat gabungan dari TNI, Polri, dan Ditpam (BP) Batam, tetap bersikeras memindahkan warga Rempang yang tanahnya akan digunakan untuk proyek pembangunan kawasan industri, jasa, dan pariwisata bernama Rempang Eco City tersebut.
Namun, sebenarnya sejak kapan warga Rempang menghadapi permasalahan lahan dari proyek-proyek pembangunan yang menyasar tanah di sekitar kawasan tersebut?
Pada sekitar medio 2001, Pemerintah Pusat melalui BP Batam menerbitkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada perusahaan swasta, yang pada akhirnya berpindah tangan ke PT Makmur Elok Graha.
Hal itu membuat masyarakat nelayan yang sudah puluhan tahun hidup dan menempati Pulau Rempang, kesulitan dalam mendapatkan sertifikat kepemilikan lahan.
Hingga pada akhirnya, konflik mulai muncul kala Pemerintah Pusat, BP Batam, dan perusanaan pemegang HPL yakni PT Makmur Elok Graha, mulai menggarap proyek strategis nasional (PSN) bernama Rempang Eco City. Proyek itu digadang-gadang akan mampu menarik investasi besar ke kawasan tersebut.
Berlandaskan pada Peraturan Menteri Koordinator (Permenko) Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023, kawasan Rempang Eco City itu diharapkan dapat menarik investasi hingga sebesar Rp 381 triliun pada tahun 2080 mendatang.
Tak hanya itu, di kawasan Rempang tersebut rencananya juga akan didirikan pabrik kaca terbesar kedua di dunia milik Xinyi Group asal China, dengan perkiraan investasi mencapai US$ 11,6 miliar atau sekitar Rp 174 triliun (asumsi kurs Rp 15.000 per US$).
Data dari situs BP Batam menunjukkan, proyek tersebut akan menggunakan lahan seluas 7.572 hektare di Pulau Rempang, yang mencakup 45,89 persen dari total luas Pulau Rempang yang mencapai 16.500 hektare.
Hal itu membuat sejumlah penduduk yang terkena dampak dari pembangunan proyek tersebut, dipaksa harus pindah dari lahan yang akan digunakan itu.
Kompensasinya, Kepala BP Batam, Muhammad Rudi pernah mengatakan, pemerintah akan menyediakan rumah tipe 45 dengan harga Rp 120 juta, dan luas tanah 500 meter persegi untuk para warga terdampak tersebut.
Namun, masyarakat adat yang berada di 16 kampung tua Pulau Rempang sepakat untuk menentang relokasi, akibat pembangunan Rempang Eco City itu. Sebab, menurut mereka kampung-kampung tersebut memiliki makna historis dan kultural yang mendalam, bahkan sebelum era kemerdekaan Indonesia.
Warga menegaskan bahwa mereka bukan mau menentang pembangunan proyek itu sendiri, namun mereka menentang jika harus direlokasi. Hingga beberapa Minggu terakhir, sejumlah warga setempat yang terancam pembangunan proyek Rempang Eco City itu pun berjaga-jaga di sekitar Jembatan IV Barelang, untuk menghalangi BP Batam memasang patok lahan.