Subsidi Pertamax Dinilai Tidak Tepat, Ini Alasannya

Nozzle BBM Pertalite dan Pertamax di pom bensin
Sumber :
  • ANTARA PHOTO/M Agung Rajasa/ss/aww.

Jakarta – Wacana pemberian subsidi ke bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax muncul dan menjadi pembahasan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Hal ini dalam mencari solusi dan upaya untuk menekan kadar emisi dan mengurangi polusi udara.

Bahlil Ungkap 3 Opsi Subsidi BBM agar Tepat Sasaran

Menurut Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi, jika itu langkah yang diambil maka jelas tidak tepat. Alasannya, lanjut dia, Pertamax yang merupakan BBM dengan kadar RON 92 belum memenuhi standar energi bersih yang ramah lingkungan, sebagaimana standar emisi Euro 4 yang mensyaratkan RON 96.

Euro 4 adalah standar emisi yang ditetapkan oleh Uni Eropa untuk kendaraan bermotor, termasuk mobil, bus, dan truk. Standar ini menetapkan batasan emisi yang lebih rendah untuk beberapa jenis polutan, seperti nitrogen oksida (NOx), karbon monoksida (CO), hidrokarbon (HC), dan partikel padat (PM).

Blusukan ke Muara Angke, Ridwan Kamil Dicurhati Nelayan soal Mahalnya BBM

"Kalau tujuannya untuk mengalihkan masyarakat menggunakan BBM yang bersih dan tidak mencemari lingkungan, itu (rencana menyubsidi Pertamax) saya kira tidak tepat. Karena Pertamax RON 92 itu bukan termasuk jenis BBM yang ramah lingkungan, yang sesuai dengan standar Euro 4 yakni RON 96," kata Fahmy saat dihubungi VIVA Bisnis, Selasa, 29 Agustus 2023.

Penyesuaian harga berkala untuk produk Pertamax

Photo :
  • Pertamina
Dukung Aquabike 2024, Pertamina Sediakan Puluhan Ribu Liter BBM Berkualitas untuk Pembalap

Fahmy menegaskan bahwa rencana pemerintah menyubsidi Pertamax demi mengatasi masalah polusi udara itu tidak tepat. "Karena justru akan menambah beban APBN makin besar, akibat pemerintah harus menyubsidi Pertamax dan Pertalite," kata Fahmy.

Ketika ditanya apakah dengan menyubsidi Pertamax maka pemerintahan harus menghapus Pertalite, Fahmy mengaku setuju dengan hal tersebut. Menurutnya, kalau disparitas harga antara Pertamax dan Pertalite itu tidak terlalu tinggi, misalnya hanya beda Rp1.000, maka ia lebih sepakat akan hal tersebut.

"Itu saya kira tepat, agar konsumen Pertalite secara bertahap pindah ke Pertamax. Nah, pada saat konsumen Pertalite itu tinggal 10 persen, maka itu (Pertalite) bisa dihapus," ujar Fahmy.

Dia mengatakan, hal itu sebagaimana yang pernah terjadi saat pemerintah menghapus BBM jenis Premium, yakni pada saat semua konsumennya sudah pindah ke pertalite. Namun, apabila Pertalite dihapus bersamaan dengan pemberian subsidi pada Pertamax, Fahmy memprediksi hal itu justru akan menimbulkan masalah karena masih banyak segmen konsumen yang menggunakan Pertalite.

Karenanya, Fahmy berpendapat bahwa apabila pemerintah ingin agar masyarakat berpindah dari Pertalite ke Pertamax, maka selisih harga antara keduanya tidak boleh terlalu tinggi. Supaya masyarakat akan secara sukarela berpindah dari Pertalite ke Pertamax.

"Tapi kalau selisihnya masih tinggi seperti sekarang, ya konsumen rasional masih akan tetap menggunakan Pertalite. Jadi memang tidak bisa dihindari bahwa pemberian subsidi di tahap awal harus kepada Pertamax dan Pertalite. Tapi asumsinya, kalau kemudian konsumen Pertalite sebagian besar pindah ke Pertamax, maka porsi subsidi untuk Pertalite itu akan berkurang, tidak seperti sekarang ini," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya