Ekonom Ungkap 3 Faktor Utama yang Pengaruhi Stabilitas Ekonomi Indonesia
- VIVA.co.id/KBRI Yangon
Jakarta – Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, mengungkapkan bagaimana setiap negara harus mengatur strateginya masing-masing, dalam upaya menjaga stabilitas ekonomi. Sebab, banyak tantangan global di dunia saat ini yang harus dihadapi.
Dia menegaskan, terdapat 3 faktor utama global yang dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi negara-negara di dunia saat ini, termasuk Indonesia. Ketiganya yakni kebijakan moneter, ekonomi China yang mulai membaik, dan harga komoditas yang menurun.
Ia menjelaskan terkait fenomena dan prediksi kebijakan moneter. Bagi negara-negara seperti Amerika Serikat dan Eropa, yang inflasinya belum bisa ditekan secara signifikan, maka diperkirakan bahwa penurunan inflasi mereka akan melambat sampai akhir tahun 2023 nanti.
"Ditambah lagi di AS terjadi sejumlah hal yang juga bisa memacu kenaikan suku bunga. Jadi kemungkinan suku bunga di Amerika pada September 2023 ini bisa naik 25 bps (basis points). Dan kalau inflasi masih belum menurun, kemungkinan bisa tambah 25 bps lagi. Jadi sampai akhir tahun bisa sampai 50 bps," kata Aviliani dalam acara 'Diskusi Publik Agustusan Ekonom Perempuan', Senin, 21 Agustus 2023.
Di tahun 2024, Aviliani baru memperkirakan bahwa akan terjadi penurunan suku bunga di AS dan Eropa, meskipun penurunannya belum signifikan.
"Baru di 2025 diperkirakan suku bunga itu akan turun secara signifikan. Jadi memang ekonomi di tahun 2024 diperkirakan masih akan sangat berat. Bahkan kalau negara-negara maju tidak bisa menahan kondisi itu, resesinya malah akan mundur dari 2023 ke 2024. Tapi kita tidak berharap itu terjadi," ujarnya.
Kemudian yang strategi kedua adalah terkait dengan China, yang ekonominya sudah mulai cenderung membaik. Hal ini diakui Aviliani sesuai dengan harapannya, karena hubungan Indonesia-China paling besar transaksi ekspor-impornya.
"Jadi kita berharap perbaikan di China ini akan mempengaruhi ekspor dan impor Indonesia ke depannya," kata Aviliani.
Sementara yang ketiga, lanjut Aviliani, adalah harga komoditas yang sudah cenderung menurun, yang bisa berdampak terhadap ekspor Indonesia apabila penurunannya signifikan. Dimana, selama 2 tahun terakhir hal tersebut telah menjadi daya dukung ekonomi nasional, karena pertumbuhannya sampai dengan 25 persen. Terutama untuk CPO dan batu bara, karena sebagian negara-negara maju lebih memilih kembali ke energi fosil akibat harga yang lebih murah dibandingkan dengan energi terbarukan.
"Yang perlu diperhatikan oleh pemerintah selanjutnya adalah dari sisi impor, yang juga belum meningkat secara signifikan. Karena jika ekonomi sudah mulai baik dan pertumbuhan mulai meningkat, biasanya impor juga meningkat secara signifikan," kata Aviliani.
"Sehingga berpengaruh terhadap cadangan devisa, dan ini yang memang sudah diperhatikan oleh BI. Karena di dalam Undang-undang P2SK, Bank Indonesia juga concern pada pertumbuhan ekonomi dan tidak hanya pada nilai tukar saja," ujarnya.