Dikritik PDIP, Intip Fakta-fakta soal Food Estate
- Biro Pers Media dan Informasi Sekretariat Presiden
Jakarta – Presiden Jokowi telah menggagas program food estate di berbagai wilayah, guna mencegah ancaman krisis pangan yang sempat digembar-gemborkan oleh pemerintah sejak beberapa tahun lalu.
Karenanya, program food estate pun mulai digarap serius oleh sejumlah kementerian salah satunya Kementerian Pertahanan di berbagai wilayah. Termasuk di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga Papua.
Namun, beberapa waktu ini program ketahanan pangan Presiden Jokowi itu menuai kritik tajam dari PDIP. Yang, antara lain menyebutkan bahwa ada unsur kejahatan lingkungan dalam program itu.
Berikut adalah beberapa fakta lainnya terkait program Food Estate yang dihimpun VIVA dari berbagai sumber:
1. Bagian dari Program Strategis Nasional (PSN) di 8 provinsi
Program food estate (lumbung pangan) adalah kebijakan pemerintah yang memiliki konsep pengembangan pangan secara terintegrasi, yang digagas Jokowi sebagai salah satu kebijakan yang masuk dalam Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024.
Pelaksanaan proyek lumbung pangan sendiri tersebar di sejumlah wilayah, di antaranya Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga Papua.
2. Varian pangan berbeda di tiap lokasi food estate
Presiden Jokowi mendesain pelaksanaan program food estate di masing-masing wilayah lumbung pangan, dilakukan dengan mengembangkan komoditas yang berbeda-beda.
Antara lain misalnya lumbung pangan di kawasan Sumba Tengah (NTT), yang difokuskan pada pengembangan komoditas padi dan jagung. Sedangkan lumbung pangan di Gresik (Jawa Timur), difokuskan pada pengembangan komoditas mangga yang dikombinasikan dengan intercropping jagung, kacang tanah, kacang hijau dan jeruk nipis, serta integrated farming jagung dengan sapi dan domba.
3. Masuk ke anggaran ketahanan pangan 2024
Presiden Joko Widodo mengatakan, pemerintah telah menyiapkan anggaran untuk strategi transformasi ekonomi di bidang ketahanan pangan sebesar Rp 108,8 triliun dalam RAPBN 2024.
Dalam Keterangan Pemerintah atas Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2024 beserta Nota Keuangannya di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD, Jakarta, pada Rabu, 16 Agustus 2023, Jokowi menjelaskan bahwa anggaran ini diprioritaskan untuk peningkatan ketersediaan, akses, dan stabilisasi harga pangan hingga pengembangan kawasan food estate, serta penguatan cadangan pangan nasional.
“Strategi transformasi ekonomi di bidang ketahanan pangan dialokasikan sebesar Rp 108,8 triliun yang diprioritaskan untuk peningkatan ketersediaan, akses, dan stabilisasi harga pangan; peningkatan produksi pangan domestik; penguatan kelembagaan petani; dan dukungan pembiayaan serta perlindungan usaha tani; percepatan pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur pangan; serta pengembangan kawasan food estate; dan penguatan cadangan pangan nasional,” kata Jokowi.
4. Hilangnya praktik dan kearifan pertanian lokal
Selain itu, Wahyu A. Perdana yang merupakan Manajer Advokasi & Kampanye Pantau Gambut mengatakan, masyarakat yang tinggal di daerah sekitar food estate saat ini telah kehilangan praktik dan kearifan lokal dalam mengelola pertanian.
“Kalau itu dibiarkan dan terjadi krisis, masyarakat yang sebelumnya cukup punya pangan dengan pendekatan kearifan lokal, pertanian lokal mereka menjadi punya risiko terhadap kerentanan pangan,” kata Wahyu.
“Praktik dan kearifan lokal yang berubah padahal jenis dan benih yang dibawa itu belum tentu cocok dengan ekosistem gambut," ujarnya.
5. Sebabkan banjir
Perhatian terhadap isu lingkungan jelas sudah menjadi fokus utama, bagi para pihak yang kontra terhadap program food estate tersebut. Bahkan, banyak penelitian dan kajian yang membuktikan bahwa program lumbung pangan nasional ini justru telah menimbulkan berbagai ancaman bagi kelestarian lingkungan.
Salah satu contoh investigasi yang dilakukan Tempo di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, bersama dengan the Gecko Project yang didukung oleh Greenpeace, Rainforest Investigations Network of Pulitzer Center, dan Internews Earth Journalism Network menunjukkan, dalam pembangunan food estate banyak ditemukan pelanggaran aturan pemerintah yang dilakukan oleh perusahaan swasta.
Aktivitas dibukanya lahan hutan yang meningkatkan deforestasi dan pemanasan global, telah menyebabkan banjir di beberapa wilayah di Kalimantan Tengah.
Tak hanya itu, Manajer Advokasi & Kampanye Pantau Gambut, Wahyu mengatakan, masyarakat juga menjadi rentan terhadap bencana alam seperti banjir. Kerentanan banjirnya itu bahkan mencapai luasan 111.000 hektare di Kahayang Kuala, di Sebang Kuala, dan di Pulang Pisau, di mana 465,65 hektare itu berada pada kerentanan tinggi banjir.
“Kemudian juga di Gunung Mas di Kahayang Mulutara itu mencapai 2.212 yang kerentanan banjir tinggi," kata Wahyu.