Komunitas Kretek Nilai Penyusunan RUU Kesehatan Secara Omnibus Law Tidak Transparan
- VIVA/ Yeni Lestari.
VIVA Bisnis – Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang saat ini disusun secara omnibus law dinilai tidak transparan oleh Komunitas Kretek. Bahkan, RUU tersebut dinilai cenderung manipulatif, penuh kepentingan, tidak urgen atau mendesak, dan memiliki potensi bahaya yang besar.
Hal ini disebut juga bisa dilihat dari banyaknya penolakan dan kritik yang dilayangkan berbagai pihak. Menurut Juru Bicara Komunitas Kretek, Siti Fatona, penyertaan pasal 154 pada RUU Kesehatan yang menyetarakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika sebagai zat adiktif adalah salah satu contohnya. Padahal, lanjut dia, Undang-Undang yang lama masih relevan.
“Tidak ada urgensi dibuatnya aturan Omnibus Law. Aturan soal tembakau di Undang-Undang yang lama serta beragam aturan lainnya, sudah sangat komprehensif dan tidak perlu ditambah-tambahkan secara sewenang-wenang,” kata Siti dikutip dalam keterangannya, Jumat, 19 Mei 2023.
Rugikan Petani
Penyetaraan yang terjadi dalam RUU ini dikhawatirkan akan membuka celah delegitimasi tembakau sebagai produk legal yang berujung merugikan petani dan seluruh pihak yang terlibat dalam rantai pasok tembakau serta produk turunannya.
Lebih lanjut, Siti juga menilai bahwa penyetaraan tembakau dengan narkotika dan psikotropika dalam aturan ini juga mengada-ada. Sebagai informasi, pasal 154 yang terdapat dalam RUU Omnibus Kesehatan merupakan perubahan dari Pasal 113 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang membahas terkait Pengamanan Zat Adiktif.
Dalam pasal 113 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, yang dimaksud sebagai zat adiktif adalah tembakau dan produk yang mengandung tembakau. Sementara, narkotika dan psikotropika diatur dalam undang-undang berbeda yang tidak termasuk dalam UU Kesehatan yang masih berlaku.
Namun, dalam RUU Omnibus Kesehatan yang tengah menjadi pembahasan, barang yang diklasifikasikan sebagai zat adiktif bertambah menjadi tembakau, minuman beralkohol, narkotika, psikotropika dan hasil pengolahan zat adiktif lainnya. Hal inilah yang membuat berbagai kalangan menilai pasal zat adiktif dalam RUU Omnibus Kesehatan melampaui batas.
Kritik dan penolakan penyetaraan tembakau dengan narkotika dan psikotropika sebagai bagian dari zat adiktif dalam pasal 154 RUU Kesehatan ini muncul karena berbagai alasan. Salah satunya adalah lantaran perbedaan legalitas antara tembakau dengan narkotika dan psikotropika, di mana tembakau dan produk turunannya merupakan barang yang legal secara hukum sementara narkotika dan psikotropika tergolong ilegal.
Selain pasal 154, Siti juga menyoroti sejumlah pasal lain yang berpotensi berbahaya dalam RUU Kesehatan. Pasal tersebut antara lain, Pasal 156 yang mengatur terkait standardisasi kemasan bagi produk tembakau, khususnya akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Kesehatan.
“Dalam draf dan daftar inventarisasi masalah yang tersebar, terlihat Kementerian Kesehatan ingin jadi penguasa tunggal isu tembakau di Indonesia karena itu mereka memasukkan ayat yang inkonstitusional, yakni membuat perihal teknis ke dalam undang-undang,” ujarnya.
Siti pun mewanti-wanti bahwa pelolosan RUU ini akan memberikan citra diktator otoriter dan kesewenang-wenangan pada pemerintah dalam hal pengaturan kebijakan kesehatan.