BI 'Pede' Volume Transaksi BI-Fast Tembus 1 Juta Transaksi pada 2023

Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Filianingsih Hendarta.
Sumber :
  • istimewa

VIVA Bisnis  – Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa nilai transaksi BI-Fast per kuartal I-2023 telah mencapai Rp 1,13 miliar, dengan volume transaksi mencapai sekitar 408 juta transaksi.

Posisi Utang Luar Negeri RI di Kuartal III-2024 Capai US$427,8 Miliar, Tumbuh 8,3%

BI-Fast sendiri merupakan infrastruktur sistem pembayaran ritel nasional, yang memfasilitasi pembayaran ritel secara realtime, aman, efisien, dan tersedia setiap saat.

"Kami berharap pada 2023 ini volume transaksinya (BI Fast) bisa melebihi 1 juta transaksi," kata Deputi Gubernur BI, Filianingsih Hendarta, dalam telekonfrensi di acara 'Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia (FEKDI) 2023', Selasa, 9 Mei 2023.

SeaBank Catat Perputaran Uang Harian Tembus Rp 3 Triliun, Pertumbuhan Nasabah Kian Moncer pada Kuartal-III 2024

Filianingsih mengatakan, dengan keunggulannya yang mampu memangkas biaya transaksi hingga mencapai 60 persen, saat ini BI-Fast juga telah melibatkan 119 bank serta 4 lembaga selain bank (LSB).

Penghargaan dari Bank Indonesia

Photo :
  • Topremit
Bank Muamalat Catat Transaksi QRIS Kuartal III-2024 Naik 148 Persen

Di sisi lain, Filianingsih memastikan bahwa BI juga mendorong kerja sama pembayaran lintas negara, untuk semakin memajukan ekosistem ekonomi digital dan keuangan. Hal itu mengingat kondisi jaringan industri global yang sudah sangat luas, serta perkembangan infrastruktur pembayaran antarnegara.

"Karena BI melihat ekonomi digital dan ekosistem keuangan Indonesia dan negara-negara ASEAN, memiliki potensi yang positif," ujarnya.

Filianingsih menjelaskan, potensi tersebut tercermin pada penandatanganan kerja sama bank sentral di wilayah ASEAN-5, yakni antara Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Kerja sama itu dijalin untuk sistem pembayaran regional atau ASEAN Payment Connectivity (APC), yang dimulai sejak 2022 lalu.

Meski demikian, Filianingsih menyadari bahwa masih terdapat beberapa kendala terkait kerja sama tersebut, terutama terkait biaya yang mahal, akses yang terbatas, serta minimnya transparansi.

"Maka diperlukan adanya terobosan dan peningkatan teknologi serta regulasi dalam suatu negara, dan kerja sama internasional untuk ekonomi digital yang lebih inklusif," kata Filianingsih.

Karenanya, Filianingsih pun mendorong adanya sinergi antara otoritas dan pelaku industri, dalam mengintegrasikan ekosistem ekonomi digital.

"Kami meyakini pengembangan sistem pembayaran membutuhkan dukungan dan sinergi dari otoritas serta pelaku industri untuk mengintegrasikan ekonomi digital dan ekosistem keuangan," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya